PHRI Sumbar: Insentif untuk Perhotelan Tidak Efektif

phri sumbar insentif perhotelan

Ilustrasi resepsionis hotel

PADANG, hantaran.co–Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Sumbar, Maulana Yusran kepada Haluan (jaringan Hantaran.co) mengatakan, stimulus dan insentif yang diberikan pemerintah untuk pariwisata, khususnya bisnis perhotelan di Sumbar tidak terlalu efektif membantu pengusaha selama pandemi.

“Pemerintah memang memberikan stimulus pajak terutama untuk PPH 26 dan PPH 21. Diskon pajak yang diberikan juga tidak terlalu efektif. Hanya PUJK Nomor 11 yang saat ini diperpanjang dengan PUJK Nomor 48 untuk restrukturisasi perbankan yang cukup efektif. Hibah dari menteri pariwisata itu diberikan tahun 2020 untuk hotel dan restoran, kami di Sumbar memang menerima walaupun nilainya kecil. Sementara untuk tahun 2021 tidak ada dana hibah untuk hotel. Tahun ini bantuan itu hanya diperuntukkan Ekraf bukan pariwisata,” katanya, Jumat (17/9).

Bisnis perhotelan di Suumbar mulai mengalami penurunan okupansi secara drastis sejak Maret 2020 lalu yang bersamaan dengan kebijakan PSBB. Pada Juni 2020 kondisinya mengalami sedikit perbaikan karena PSBB sudah mulai dilonggarkan.

“Di Sumbar kalau berbicara pariwisata dan hotel mayoritas konsumen itu berasal dari kategori tourism, termasuk meeting atau pertemuan yang digelar di hotel. Sementara kategori leisure atau wisatawan yang sekadar jalan-jalan itu biasanya hanya ada di akhir pekan,” katanya.

Bisnis hotel, katanya, setidaknya memiliki tiga konsumen, pertama Free and Independent Traveler (FIT) atau wisatawan yang datang sendiri atau personal, kedua wisatawan leisure dan tourism, dan terakhir kategori wisata grup.

“Kategori yang terakhir ini sudah dipastikan hilang selama pandemi. Di kuartal tiga dan empat tahun 2020, bisnis hotel di Sumbar lebih banyak diisi konsumen leisure yang sekadar liburan atau jalan-jalan,” katanya.

Kebijakan PPKM Darurat yang diberlakukan pemerintah, dinilai Yusran, membawa dampak lebih parah dibandingkan dengan PSBB. Sebab PPKM diberlakukan setelah pandemi berlangsung lebih satu tahun. Saat PSBB pengusaha masih memiliki cadangan untuk operasional, berbeda saat PPKM Darurat diberlakukan, pengusaha tidak lagi memiliki dana cadangan.

“Pariwisata bukan sektor yang bisa berdiri sendiri, pariwisata amat bergantung ke sektor lain. Misalnya saat membuka restoran, siapa yang akan makan di restoran kalau pembatasan diberlakukan. Begitu juga hotel, meskipun sudah dibuka, tapi syarat orang untuk naik bisa naik pesawat cukup rumit dan harga tiketnya mahal karena penumpang diwajibkan melakukan test Covid-19. Jadi hotel umumnya hanya diisi oleh wisatawan yang bergerak di jalur darat saja,” ungkapnya.

Sebab demikian, Pemprov Sumbar diharapkan mengambil kebijakan yang tepat. Sebab, hal yang paling sulit untuk bisnis perhotelan adalah naik-turunnya kasus. Sektor hulu dan hilir dalam penanganan pandemi harus diperhatikan agar lonjakan kasus tidak lagi terjadi.

“Perlu dipahami bahwa 95 persen usaha di Sumbar itu adalah UMKM. Produk UMKM itu amat bergantung kepada pergerakan orang atau adanya wisatawan dari luar daerah. Jika sudah memahami itu, maka pertama yang harus diselesaikan adalah bagaimana memastikan agar massifnya pergerakan orang ke Sumbar ini bisa terjaga,” katanya.

Selama ini masalah di Sumbar, wisatawan yang datang kesulitan untuk mendapatkan tes Covid-19 yang cepat sebagai sebuah syarat untuk naik pesawat. Hal itu dikarenakan Sumbar hanya memiliki satu laboratorium pemeriksaan.

“Jika lab ditambah, harga pemeriksaan juga bisa ditekan. Orang jadi enggan untuk traveling ke Sumbar karena terbatasnya tempat pemeriksaan dan harganya juga cukup mahal. Sudah selayaknya lab ditambah, karena tes PCR sudah jadi kewajiban bagi orang yang akan melakukan perjalanan lintas daerah,” katanya.

(Riga/Hantaran.co).

Exit mobile version