Pengamat : Lapor-melapor Pasca-Pilkada Itu Biasa

Pilkada

Pilkada Serentak 2020. Ilustrasi

PADANG, hantaran.co—Pasca-Pilkada 9 Desember dan penetapan hasil rekapitulasi suara, beberapa calon kepala daerah bersama tim pemenangan di Sumbar menempuh jalur hukum lewat berbagai saluran pengaduan yang tersedia. Pada intinya, laporan berisi dugaan-dugaan pelanggaran yang berdampak merugikan pada perolehan suara pelapor.

Pantauan Haluan, beberapa pelaporan hingga Minggu (20/12/2020) siang antara lain, Paslon Tri Suryadi-Taslim melaporkan Paslon Suhatri Bur-Rahmang ke Bawaslu Sumbar atas dugaan sejumlah pelanggaran selama periode Pilkada 2020. Kemudian, empat Paslon pada Pilkada Sijunjung melaporkan para Komisioner KPU Sijunjung ke kepolisian dan DKPP atas dugaan pelanggaran yang disebut menguntungkan paslon Benny Dwifa-Iradatillah.

Kemudian, pada Pilkada Pesisir Selatan, Paslon Hendrajoni-Hamdanus mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada 2020 ke MK, dengan alasan ribuan pendukung mereka tidak menerima surat panggilan dari KPU Pesisir Selatan untuk mencoblos.

Selain itu, Paslon Nofi Candra-Yulfadri pada Pilkada Kabupaten Solok, juga mengajukan gugatan perolehan hasil ke MK, yang berselisih 0,4 persen dari paslon Epyardi Asda-Jon Firman Pandu.

Lalu, Komisioner KPU Sumbar Izwaryani dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Direskrimsus Polda Sumbar oleh pelapor Boby Lukman selaku masyarakat sipil, terkait pernyataan Izwaryani pada salah satu pemberitaan yang dinilai merugikan Calon Gubernur Mulyadi.

Pengajar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), Asrinaldi, kepada Haluan menilai, pelaporan pasca pemilihan umum adalah tindakan wajar. Sebab, dalam sistem demokrasi, peserta Pilkada memang diberi wadah untuk melaporkan proses Pilkada yang dinilai menimbulkan kerugian.

“Terkait sengketa hasil, memang diberi wadah mengajukan keberatan ke MK. Itu prosedur yang bisa ditempuh. Jadi biasa saja. Namanya ketidakpuasan, tentu perlu dikanalisasi. Karena kanalnya ada, ya silakan gunakan. Laporan pasca-Pilkada ini bisa dibagi dua, yaitu laporan dan gugatan atas hasil Pilkada, atau laporan terkait penyelenggaraan atau tahapan Pilkada yang dianggap merugikan Paslon,” katanya, Minggu (20/12/2020).

Asrinaldi menambahkan, untuk menggugat selisih raihan suara ke MK pada provinsi dengan jumlah penduduk maksimal 2 juta jiwa, pengajuan dapat dilakukan jika selisih suara maksimal sebanyak 2 persen. Ada pun pada provinsi dengan jumlah penduduk 2 hingga 6 juta jiwa, maka selisih yang dipersyaratkan maksimal 1,5 persen.

“Sementara untuk kabupaten/kota berpenduduk kurang dari 250 ribu jiwa, pengajuan selisih paling banyak 2 persen. Untuk penduduk 250 ribu hingga 500 ribu jiwa, bisa diajukan jika selisih paling banyak it 1,5 persen. Lalu, jumlah penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa, bisa mengajukan jika selisih maksimal 1 persen,” katanya lagi.

Dari pelaksanaan 14 Pilkada di Sumbar, sambungnya, Pilkada Kabupaten Solok memang menuai hasil akhir yang sensitif. Sebab, perbedaan suara yang terjadi hanya 800 suara antara urutan satu dan dua. “Kemudian Pilkada Solok Selatan, itu tampaknya juga berpotensi ke MK,” katanya.

Sementara itu terkait laporan pidana Pemilu, Asrinaldi menyebutkan hal itu tidak dapat menggugurkan kemenangan Paslon terpilih. Sebab, untuk mengubah hasil pemilu, saluran yang berwenang adalah MK. Kecuali, si pelapor dapat menunjukkan bukti pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Seharusnya pelaporan dilakukan sebelum penetapan hasil. Terkait pelaporan komisioner KPU Sumbar, itu juga bisa diproses DKPP jika memang apa yang dikatakan Izwaryani tidak ada di dalam aturan,” katanya lagi.

Ada pun terkait laporan Paslon Bupati Pessel Hendrajoni-Hamdanus, menurut Asrinaldi akan sulit dibuktikan. Jika terbukti pun, belum akan cukup untuk mengubah hasil Pilkada. Menurut Asrinaldi, seluruh pelaporan adalah tindakan psikologis wajar dari Paslon yang gagal memenangi Pilkada.

Biduak Lalu Kiambang Batauik

Senada dengan Asrinaldi, Pengamat Politik UIN Imam Bonjol Muhammad Taufik menilai, laporan pasca-Pilkada sebetulnya mengonfirmasi kedewasaan berpolitik masyarakat Sumbar. Yaitu, memilih menyelesaikan persoalan pada jalur formal yang disediakan, ketimbang melakukan pengerahan massa untuk menolak hasil Pilkada.

“Itu menandakan kematangan berpolitik. Persoalan laporan akan berhasil atau tidak, itu masalah nanti. Aspek hukum yang dikedepankan, bukan pengerahan massa. Secara hukum semua pihak memiliki hak untuk melaporkan persoalan. Jadi, biasa saja,” kata Taufik.

Taufik menambahkan, orientasi pelaporan Pilkada tak serta merta harus dapat mengubah hasil Pilkada, tetapi hendaknya berorientasi pada proses pembelajaran. Sebab, Pilkada tidak bisa disebut berjalan lancar 100 persen karena masih banyak “bolong: yang ditemukan.

“Pertarungan ke MK lebih jauh bijaksana. Meski putusan di MK itu belum tentu akan memenangkan penggugat. Bisa saja MK memutuskan untuk menggelar PSU, tapi sikap lapang dada Paslon yang kalah adalah budaya yang mesti dilestarikan, sesuai filosofi kita di Sumbar “biduak lalu kiambang batauik”. Jika memang pelaporan yang ia lakukan tidak akan mengubah hasil, ya mulai dari sekarang ucapkan selamat kepada pemenang,” katanya lagi. (*)

Riga/hantaran.co

Exit mobile version