Pencegahan Konflik Sosial melalui Pengembangan Pemahaman Kato Nan Ampek dalam Pelaksanaan Bimbingan Kelompok

Konflik

Fadhilla Yusri Program Studi S3 Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang. IST

Fadhilla Yusri

Program Studi S3 Bimbingan dan Konseling

FIP UNP

Badan pusat statistik provinsi Sumatera Barat menerangkan bahwa jumlah konflik sosial berupa ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis dan kelompok pada tahun 2020 sebanyak 31,57% dengan tingkat penyelesaian sebesar 59,44% (BPS Sumbar, 2021). Tingkat penyelesaian konflik sosial berupa ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan  gender, etnis dan kelompok di Indonesia secara umum dan di Sumatera Barat secara khusus masih rendah.

Kepala Bidang Kewaspadaan Badan Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat melaporkan penanganan konflik sosial  masih jauh dari target dengan capaian di bawah 70% (Kesbangpol Sumbar, 2020). Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik sosial etnik di tengah masyarakat diantaranya karena identitas individu yang terancam, ketidakcocokan cara berkomunikasi dan perubahan sosial yang terjadi dengan cepat (Wijono, 2014; Setiadi, EM dan Kolip, 2015). Salah satu penyebab terjadinya konflik sosial adalah ketidakcocokan cara berkomunikasi antar pembicara dengan lawan bicaranya.

Tata cara berkomunikasi telah diatur dan diajarkan dalam budaya dan adat istiadat yang berkembang pada suku tertentu. Di Minangkabau aturan berkomunikasi dengan lawan bicara dikenal dengan kato nan ampek. Kato nan ampek sebagai pedoman yang dipakai dalam berkomunikasi di Minangkabau sesuai dengan tingkatan usia dan status sosial lawan bicara dalam masyarakat (Ermaleli, 2011; Yulika, 2012). Pemakaian kato nan ampek dalam berkomunikasi menunjukkan nilai-nilai kesopanan terhadap lawan bicara.

Dewasa ini kemampuan generasi muda Minangkabau dalam menerapkan kato nan ampek sesuai kaidahnya mengalami kemunduran. Hal ini terungkap dalam penelitian Manaf, NA; Jufrizal; Agustina dan Juita tahun  2001 bahwa banyaknya pelanggaran tata krama oleh generasi muda Minangkabau karena ketidakmampuan penerapan kato nan ampek sesuai dengan kaidahnya dapat menurunkan tingkat kesantunan dan menyebabkan terjadinya perselisihan. Dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Syofiani dan Isnanda, R tahun 2018 bahwa kemampuan mahasiswa menggunakan kato mandaki dalam komunikasi akademis dengan dosen masih rendah dan terkesan tidak sopan bahkan menyinggung perasaan dosen. Perbedaan pemahaman antar generasi dalam penerapan kato nan ampek di kehidupan sering menyebabkan terjadinya perselisihan dan kesalahpahaman.

Penelitian Septia, H; Morelent, Y; dan Putri D tahun 2016 mengungkapkan ketidakharmonisan dalam masyarakat di Kampung Koto Pulai Kenagarian Kambang Timur Pesisir Selatan salah satunya karena tindak tutur direktif anak kepada orang yang lebih tua pada umumnya menggunakan gaya bahasa kato mandata dan kato manurun sehingga terkesan tidak memuliakan orang tua dan orang dewasa lainnya.

Studi awal menunjukkan bahwa dari 230 orang responden yang tersebar di daerah darek dan rantau di Minangkabau sebanyak 43,04% mengalami konflik sosial tinggi dan 56,4% mengalami konflik sosial sedang karena ketidaktepatan penerapan kato nan ampek. Perubahan etika dan moral generasi muda Minangkabau karena pengaruh global telah menyingkirkan nilai-nilai kesopanan yang diatur dalam adat istiadat. Menurut Yunus, 2015 dan Dahrizal, 2019 salah satu hal yang dapat dilakukan untuk melestarikan kato nan ampek adalah dengan membahasnya dalam kegiatan kelompok.

Pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dalam pelayanan bimbingan dan konseling membebaskan anggota kelompok untuk menyampaikan pendapat, mengembangkan perasaan, wawasan, pikiran dan sikap yang menunjang tingkah laku. Penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal dapat ditingkatkan melalui layanan bimbingan kelompok dan konseling kelompok (Sridasweni; Yusuf, A.M dan Sabandi, 2017).

Salah satu pendekatan yang secara spesifik dapat digunakan untuk menganalisis kualitas komunikasi antar individu yaitu pendekatan analisis transaksional. Pendekatan analisis transaksional menekankan pada interaksi antara individu sebagai suatu symptom dan penyebab masalah psikologis (Berne, 2001). Pendekatan analisis transaksional dapat digunakan dalam kelompok yang secara spesifik akan menganalisis tentang transaksi antarindividu dan anggota kelompok memperoleh pemahaman mengenai kesalahan transaksi dengan orang lain. Penerapan analisis transaksional dalam bimbingan kelompok diharapkan dapat meningkatkan kualitas komunikasi antar pribadi berbasis budaya Minangkabau.

Pada penelitian ini dikembangkan model bimbingan kelompok menggunakan pendekatan analisis transaksional (BKp-AT) dalam pengembangan pemahaman kato nan ampek untuk mencegah konflik sosial pada siswa. Penelitian ini menggunakan model pengembangan ADDIE (Analyze, Design, Development, Implementation and Evaluation). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model bimbingan kelompok menggunakan pendekatan analisis transaksional (BKp-AT) yang valid, praktis dan efektif dalam pengembangan pemahaman kato nan ampek untuk mencegah konflik sosial.

Urgensi pengembangan model ini didasarkan pada inovasi di bidang bimbingan dan konseling sebagai salah satu alternatif mutakhir intervensi dalam layanan bimbingan kelompok. Penelitian ini sebagai salah satu alternatif pencegahan konflik sosial dengan memperbaiki kesalahan dalam bertransaksi pada generasi muda Minangkabau.

Berdasarkan hasil penelitian dirancang karakteristik model BKp-AT dengan enam komponen dasar yaitu (1) sintak (tahap pra kegiatan, tahap pembentukan, tahap transisi, tahap kegiatan, tahap pengakhiran dan tahap pasca kegiatan), (2) sistem sosial (pemimpin kelompok dalam kegiatan BKp-AT berfungsi untuk memotivasi, mengarahkan dan mempengaruhi anggota kelompok untuk mencapai tujuan kegiatan BKp-AT, sedangkan anggota kelompok sebagai komponen yang terlibat aktif dalam kegiatan BKp-AT diharapkan mendahulukan kepentingan bersama, mau membuka diri, berpartisipasi aktif dalam kelompok, dan sukarela mengemukakan pandangannya).

(3) prinsip reaksi (cara memberikan respon yang diharapkan dari pemimpin dan anggota kelompok selama kegiatan BKp-AT berlangsung dengan memperhatikan kaidah kesukarelaan, keterbukaan, kenormatifan, keaktifan dan kerahasiaan), (4) sistem pendukung (buku model BKp-AT, buku panduan BKp-AT, dan topik bahasan dalam kegiatan BKp-AT), (5) dampak instruksional (pemahaman anggota kelompok tentang kato nan ampek dan kemampuan menerapkannya sesuai kaidah dalam kehidupan), (6) dampak pengiring (terbinanya karakter berbasis kato nan ampek dalam bertransaksi hingga dapat mencegah konflik sosial).

Berdasarkan hasil uji kelayakan oleh ahli di bidang bimbingan dan konseling, ahli di bidang budaya, serta ahli di bidang desain dan bahasa mengindikasi bahwa model BKp-AT yang dikembangkan memenuhi kriteria layak untuk dipakai dalam pengembangan pemahaman kato nan ampek guna mencegah konflik sosial. Pengujian keterpakaian model BKp-AT oleh guru bimbingan dan konseling juga menunjukkan bahwa model BKp-AT praktis dipakai dalam pengembangan pemahaman kato nan ampek guna mencegah konflik sosial pada siswa.

Pengujian efektivitas model BKp-AT pada tahap implementasi melibatkan siswa sebagai subjek pengujian. Berdasarkan hasil implementasi terungkap bahwa subjek penelitian mengalami perubahan yang positif setelah diberikan perlakuan BKp-AT. Hasil analisis statistik terhadap keadaan akhir anggota kelompok setelah mendapatkan perlakuan BKp-AT membuktikan bahwa penerapan model BKp-AT mangkus untuk pengembangan pemahaman kato nan ampek guna mencegah konflik sosial.

Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah penelitian pengembangan menghasilkan produk berupa model bimbingan kelompok menggunakan pendekatan analisis transaksional (BKp-AT) yang layak, praktis dan mangkus dipakai dalam pengembangan pemahaman kato nan ampek untuk mencegah konflik sosial. Penelitian ini juga menghasilkan media pendukung model berupa buku panduan model untuk guru bimbingan dan konseling.

Implikasi penelitian yang didapatkan berkenaan dengan upaya pengembangan pemahaman kato nan ampek untuk mencegah konflik sosial salah satunya melalui bimbingan kelompok menggunakan pendekatan analisis transaksional (BKp-AT) dapat diwujudkan dengan adanya sinergi antar penyelenggara pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah melalui wadah Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK). Model BKp-AT yang dikembangkan masih terfokus pada siswa sekolah menengah atas, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengujicobakan model BKp-AT pada populasi yang lebih luas seperti siswa sekolah menengah pertama, mahasiswa atau masyarakat pada umumnya.

Artikel ini ditulis berdasarkan disertasi untuk menyelesaikan pendidikan pada Prodi S3 Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang dengan tim promotor Prof. Dr. Firman, M.S., Kons., Prof. Dr. Herman Nirwana, M.Pd., Kons., dan Prof. Dr. Mudjiran, M.S., Kons., dengan tim penguji Prof. Ganefri, Ph.D., Prof. Dr. Rusdinal, M.Pd., Prof. Dr. Hadiyanto, M.Ed., Prof. Dr. Neviyarni S., M.S., Kons., Dr. Yeni Karneli, M.Pd., Kons., dan penguji eksternal dari Universitas Negeri Malang Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd.

Exit mobile version