PADANG, HANTARAN.Co—Pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) berpotensi
menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi,
kebijakan ini bisa mendorong efisiensi
kinerja pemerintah daerah.
Namun di sisi lain, kebijakan ini juga dikhawatirkan mengancam kemandirian fiskal serta melemahkan otonomi daerah yang telah
diperjuangkan sejak era reformasi.
Ekonom UniversitasMohammad Natsir Bukittinggi, Afridian Wirahadi Ahmad menjelaskan, salah satu komponen TKD yang dipangkas oleh pemerintah pusat adalah Dana Alokasi Umum (DAU), yang salah satu komponen utamanya adalah anggaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dengan kata lain, banyak daerah akan terjebak pada kondisi di mana anggaran hanya cukup untuk membayar gaji pegawai tanpa bisa melaksanakan pembangunan.
“Saya khawatir, banyak kepala daerah yang tidak
akan bisa menunaikan janji politik mereka. Masyarakat tentu tidak peduli apakah dana pusat berkurang atau tidak. Karena yang mereka lihat adalah kinerja kepala daerah,”kata Rektor UM Natsir Bukittinggi itu kepada Haluan, Kamis (9/10/205).
Wira mengingatkan bahwa kebijakan ini juga
bisa memicu reaksi berantai berupa kenaikan
pajak daerah. Lantaran untuk mengakali situasi ini, para kepala daerah bisa saja berlomba-lomba
menaikkan tarif pajak sebagai solusi cepat untuk
menutup kekurangan anggaran.
“Pajak Bumi danBangunan (PBB) bisa naik karena revisi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Begitu juga pajak kendaraan bermotor di tingkat provinsi,”
tuturnya.
Dan langkah semacam ini, menurutnya
berpotensi menjadi “bom waktu sosial” seperti
yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dimana unjuk rasa besar menolak kenaikan pajak
sempat pecah beberapa waktu lalu.
Di samping itu, ia juga menyoroti dampak
serius lain dari pemangkasan TKD, yaitu
melemahnya otonomi daerah. Di tengah
keterbatasan anggaran pembangunan daerah,
mau tidak mau semua kepala daerah harus
rajin-rajin “mengemis” dan menyodorkan
proposal ke pusat atau anggota DPR RI demi
mendapatkan tambahan anggaran.
“Ini kan tidak elok. Daerah jadi seperti
pengemis kepada pusat. Padahal, otonomi
daerah seharusnya memberi kewenangan besar.
Tapi percuma saja kalau kewenangan tidak
diikuti dengan dukungan anggaran,” katanya.
Ia berharap, kebijakan fiskal pusat dan daerah
dapat kembali menemukankeseimbangannya,
agar semangat otonomi daerah yang diperjuangkan sejak reformasi tidak tergerus hanya karenadefisit fiskal nasional.
“Otonomi daerah sejatinya bukan hanya
tentang kewenangan, tapi juga tentang kemandirian. Hal itu hanya bisa dicapai jika pusat mempercayakan dana yang cukup untuk daerah,” katanya.