Padang, hantaran.Co–Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital, masih banyak masyarakat di daerah pelosok Sumatera Barat yang belum tersentuh layanan keuangan formal. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mendorong inklusi keuangan yang merata di seluruh lapisan masyarakat.
Masalah utama yang dihadapi, terutama di wilayah pedesaan dan perbukitan, adalah keterbatasan akses terhadap bank dan lembaga keuangan formal. Tidak semua warga memiliki kesempatan untuk membuka rekening atau memahami manfaat layanan keuangan. Inilah yang kemudian mendorong OJK untuk memperkuat program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif atau yang dikenal dengan Laku Pandai.
Kepala OJK Sumatera Barat, Roni Nazra, menjelaskan bahwa keberadaan agen Laku Pandai masih sangat dibutuhkan, terutama di wilayah terpencil yang jauh dari pusat kota. Melalui jaringan agen ini, masyarakat dapat menabung, melakukan transaksi, dan mengakses produk keuangan tanpa harus datang ke bank. “Masih banyak masyarakat yang belum mengenal atau mendapatkan layanan perbankan. Agen Laku Pandai hadir untuk menjembatani kesenjangan itu,” ujar Roni.
Data OJK mencatat, hingga Desember 2024 jumlah agen Laku Pandai di Sumbar telah mencapai 44.166 agen. Angka ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Melalui Peraturan OJK No. 22 Tahun 2023, setiap Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) diwajibkan berperan aktif memperluas jaringan agen Laku Pandai agar layanan keuangan dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok.
Namun, OJK tidak berhenti pada penyediaan layanan dasar semata. OJK Sumbar juga mendorong agar agen-agen tersebut berfungsi sebagai agen edukasi keuangan di tingkat komunitas. Mereka tidak hanya membantu transaksi, tetapi juga menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya menabung, investasi, dan pengelolaan keuangan rumah tangga. Sinergi pun dibangun dengan pemerintah daerah agar setiap program benar-benar tepat sasaran dan berkelanjutan.
Langkah strategis lainnya diwujudkan melalui pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD). Tim ini menjadi wadah kolaborasi antara OJK, Pemerintah Daerah, akademisi, PUJK, serta berbagai pemangku kepentingan. Salah satu program unggulannya adalah Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI), yang fokus pada pemberdayaan potensi lokal dengan dukungan akses keuangan yang terintegrasi.
Program EKI dirancang untuk mengoptimalkan potensi desa, baik alam, sosial, budaya, maupun finansial, melalui pendampingan dari pra hingga pasca-inkubasi. Di Sumatera Barat, program ini telah dijalankan di Nagari Sumpu (Kabupaten Lima Puluh Kota) pada 2023 dan Nagari Ulakan (Kabupaten Padang Pariaman) pada 2024. Setiap wilayah mendapatkan dukungan dari PUJK sesuai bidangnya, dengan fokus pada peningkatan literasi dan akses pembiayaan.
Menurut Roni, ekosistem ini juga mendukung agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs). Lembaga keuangan tidak hanya diminta menyalurkan produk, tetapi juga terlibat dalam pemberdayaan masyarakat seperti pelatihan literasi keuangan, penyediaan sarana usaha, dan digitalisasi bagi pelaku UMKM, petani, nelayan, serta perempuan pelaku usaha. “Kami ingin inklusi keuangan tidak berhenti pada akses, tetapi berdampak langsung pada kesejahteraan,” tegasnya.
Dorongan ini semakin diperkuat melalui kegiatan Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2025 bertema “Inklusi Keuangan Untuk Semua, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Acara yang digelar pada Minggu (19/10) itu diisi dengan berbagai kegiatan edukatif dan penghargaan kepada tiga TPAKD terbaik: Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Tanah Datar.
Secara nasional, pemerintah menargetkan tingkat inklusi keuangan sebesar 91 persen pada 2025, 93 persen pada 2029, dan 98 persen pada 2045 sebagaimana tertuang dalam RPJMN dan RPJPN 2025–2045. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, tingkat inklusi nasional telah mencapai 80,51 persen, meningkat 5,49 persen dibanding tahun sebelumnya. “Angka ini menunjukkan kemajuan, namun kita tidak boleh lengah. Masih banyak masyarakat di daerah yang belum tersentuh,” kata Roni.
OJK berharap masyarakat Sumatera Barat semakin memahami pentingnya pengelolaan keuangan dan berani menggunakan layanan keuangan formal. “Inklusi keuangan bukan hanya soal angka statistik, tapi tentang kesejahteraan dan kemandirian ekonomi daerah,” ujar Roni Nazra menegaskan kembali.
Dampak nyata dari program inklusi ini juga terasa di lapangan. Desa Sumpur di Kabupaten Tanah Datar menjadi salah satu contoh sukses penerapan EKI. Direktur BUMDes sekaligus Ketua Pokdarwis setempat, Zuherman, mengatakan program tersebut telah mendorong lahirnya inovasi pariwisata berbasis masyarakat dengan unggulan Homestay Rumah Gadang. “Kami tidak hanya menawarkan penginapan, tetapi juga wisata edukasi dan budaya,” katanya.
Kini, berkat kreativitas masyarakat, wisata berbasis rumah gadang tersebut ramai dikunjungi wisatawan setiap bulan. Hasilnya, lebih dari 12 kelompok UMKM tumbuh di kawasan itu. “Karena wisata ini berbasis masyarakat, maka banyak warga yang ikut terlibat dan mendapatkan manfaat ekonomi,” jelas Zuherman.
Dengan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat, Sumatera Barat perlahan menunjukkan bahwa inklusi keuangan bukan hanya program administratif, tetapi gerakan nyata menuju kemandirian ekonomi lokal. Melalui inovasi dan pemberdayaan, harapan OJK untuk menjadikan inklusi keuangan sebagai pilar kesejahteraan semakin mendekati kenyataan.