Setiap hari Rina (43) wanita paruh baya warga Jorong Kawai Nagari Batu Bulek Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar sudah berangkat menuju kilang pembuatan saka tabu milik salah satu kelompok tani di daerahnya.
Dengan balutan jilbab di kepala, dihiasi masker khusus yang terbuat dari beras guna mendinginkan panas pada wajah saat melakukan aktifitas di siang hari, Rina sudah mulai bersiap siap untuk melakukan penggilingan tebu yang dibantu oleh rekan kerjanya yaitu Jun (45).
Rina dan Jun hampir setiap hari melakoni kegiatan tersebut. Mulai dari penggilingan tebu hingga proses pencetakan tebu ditempat khusus yang sudah disediakan.
Menurut Rina dan Jun kepada Haluan, setiap hari mereka berhasil mencetak saka tabu itu sebanyak 150 Kg.
Angka yang fantastis memang. Namun, capek bekerja satu hari penuh dari proses perebusan hingga dicetak menjadi saka memakan waktu lebih kurang 4 jam,maka belum sebanding dengan harga jual yang relatif rendah diangka 16.000/kg nya.
Dua wanita ini memang tangguh. Air tebu yang sudah digiling itu dimasukkan kedalam belek atau ember kecil lalu disatukan dalam baskom besar. Sebelum dituangkan ke kuali atau wajan besar yang sudah disusun rapi beberapa buah diatas tungku dengan kondisi api hidup yang menggunakan bahan bakar kayu.
Perlahan lahan Jun maupun Rina menunggu sampai berbentuk seperti galamai mentah atau wajik sambil terus di aduk supaya tidak lengket di dasar wajan.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah kondisi bahan bakar yang cukup dan kering agar api tidak terlalu membesar yang dapat mengakibatkan kegosongan pada saka tersebut.
Namun sayang, dengan perjuangan yang melelahkan dan menahan panas seharian disekitar kobaran tungku api, para pekerja pembuat saka itu belum merasa bahagia dengan gaji yang dihasilkan.
Ia menceritakan bahwa dirinya hanya menerima upah harian, dimana hitungan gajinya dimulai dari berapa baskom air tebu yang dapat diperoleh setiap harinya.
Jun juga menuturkan bahwa kendala utama saat ini yaitu biaya produksi yang cukup besar sehingga keuntungannya sangat tipis sekali.
Selain itu apabila musim tebu sulit untuk didapatkan dari petani, kami juga terpaksa libur lebih kurang 20 hari.
Rina dan Jun kompak menjelaskan bahwa sampai saat ini mereka hanya menerima upah harian.
Yang menjadi kekhawatiran mereka saat hanya menerima upah harian, jika produksi terhenti meskipun sesaat mereka juga merasa kesulitan saat tidak bekerja tersebut.
Mereka menyampaikan harapan agar mereka para pekerja pembuat Saka dapat perhatian dari pemerintah, baik berupa subsidi khusus atau bantuan yang dapat dimanfaatkan pada saat libur produksi sehingga mereka tidak merasakan lagi kecemasan pada anak anaknya yang masih sekolah.
(rhy/Hantaran.co)