Mendagri Sebut Ada 17 Persen Warga Tak Salurkan Hak Pilih di Pilkada Karena Takut Terpapar Covid-19

Pilkada

Mendagri, Tito Karnavian, saat Rapat Koordinasi Kesiapan Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Pengarahan kepada Satgas Covid-19 di Provinsi Sumatera Barat yang digelar di Inna Muara Hotel Padang, Selasa (25/8/2020), malam. HUMAS

PADANG, hantaran.co – Menteri Dalam Negeri Jenderal Polisi, Muhammad Tito Karnavian, menyebutkan, dari hasil survey ada 17 persen warga yang tak menyalurkan hak pilihnya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 karena takut terpapar Covid-19.

Hal itu dikatakannya saat Video Conference (Vidcon) terkait Refleksi dan Proyeksi Pilkada 2020 Senin (14/12/2020).

Hadir juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Dr. Mohammad Mahfud, Ketua KPU RI, Arief Budiman, Ketua Bawaslu RI, Abhan, Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan diikuti secara daring oleh seluruh Kepala Daerah se-Indonesia.

Tito Karnavian menjelaskan, bahwa ada 309 daerah dan sembilan gubernur yang ikut melaksanakan Pilkada Serentak 2020. Mulai dari awal pemerintah sudah merencanakan yang artinya KPU sudah mempersiapkan nya dari September 2019. Karena memang amanat undang-undang harus dilaksanakan pada September 2020.

Karena terjadinya pandemi Covid-19 pada bulan Maret, KPU melakukan penundaan. Kemudian melakukan rapat bersama DPR, KPU, Banwaslu, dan pemerintah, sehingga menyepakati dilaksanakan pada 9 Desember 2020 dan Juni dilakukan tahapan lanjutan.

“Penghalang terberat kita adalah Covid-19 dan target kita adalah aman dari konvensional, baik kekerasan, konflik, kemudian aman dari pelanggaran pelanggaran dalam aturan Pilkada,” kata Mendagri.

Pilkada dilaksanakan yang paling penting adalah aman dari Covid-19 dengan potensi pemilih 100 juta orang lebih dan kita juga menargetkan partisipasi pemilih relatif cukup baik, dan KPU memberikan target 77,55 persen.

“Kalau kita melihat dari tahapan tahapannya, dari Juni tidak ada masalah yang begitu berarti, titik titik rawan itu ada pada saat verifikasi faktual calon perorangan,” ucapnya.

Itu, katanya, tidak terjadi gangguan yang signifikan baik mengenai Covid-19 maupun gangguan konvensional. Kemudian pada saat verifikasi pemutakhiran data pemilih 100 juta lebih, dan kegiatan kegiatan yang tidak terekam oleh media itu juga terlaksanakan dengan cukup baik.

“Selanjutnya yang agak perlu kita konfirmasi adalah pada saat hari pendaftaran tanggal 4,5 dan 6 September dimana terjadi kerumunan dan ini terjadi terutama karena aturan KPU ditetapkan pada tanggal 2 September, jadi disitu ada waktu yg sangat pendek. Pada tanggal 2 baru disahkannya peraturan tentang Covid-19 sedangkan tanggal 4 September 2020 sudah mulai jadwal pendaftaran, disitu cuma jeda waktu 2 hari sehingga tidak cukup waktu untuk sosialisasi,” jelas Tito.

Kemudian pada saat kampanye, itu bukanlah waktu yang pendek yaitu 71 hari, dan mengubah budaya cara berkampanye yang menaati aturan Covid-19, diantaranya tidak ada rapat umum, rapat terbatas maksimal hanya 50 orang. Yang dilihat dari waktu 71 hari meskipun ada beberapa lebih kurang 2,3 persen pertemuan tatap muka yang dianggap pelanggaran dalam berkampanye.

“Data ini tidak terlalu besar dalam pelanggaran sehingga kampanye ini mendapatkan konfiden dari masyarakat karena kampanyenya dapat terkendali dalam protokol kesehatan,” ujarnya.

Di Indonesia sendiri menerapkan hak pilih beda dengan beberapa negara yang sudah menerapkan wajib pilih yang mengakibatkan partisipasi masyarakat akan lebih tinggi dalam melaksanakan kewajibannya untuk memilih.

“Pada saat pemungutan suara kami mendapatkan data dari Polri bahwa tidak ada terdapat gangguan yang konvensional baik itu kekerasan, dan konflik yang signifikan,” katanya. (*)

hantaran.co

Exit mobile version