PADANG, hantaran.co — Penyelesaian konflik kehutanan dan lahan serta percepatan reforma agraria merupakan program prioritas Pemerintahan yang harus kita dukung. Akan tetapi penyelesaian konflik kehutanan dan lahan serta reforma agraria khususnya di Daerah tidak berjalan dengan baik seperti yang diharapkan.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Kerja Komite I DPD RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Selasa 6 Oktober 2020.
Anggota Komite DPD RI asal Sumatera Barat, H Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, menyebutkan, lebih dari 20 persen dari kawasan hutan dipengaruhi sebagian besar oleh sengketa izin untuk pertambangan, hutan tanaman industri atau perkebunan kelapa sawit. Selain itu, banyak faktor lainnya yang saling berkaitan dan turut berkontribusi dalam konflik ini.
Diantaranya ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh yurisdiksi bertentangan atau tumpang tindih, lemahnya penegakan hukum, perizinan yang tidak terkoordinasi (dan sering ilegal) dan prosedur perizinan, korupsi yang merajalela, dan meningkatnya permintaan global untuk lahan, makanan, energi terbarukan, infrastruktur, dan konservasi.
“Pihak yang paling terdampak akibat konflik di kawasan hutan adalah masyarakat yang berada di kawasan hutan atau yang berbatasan dengan kawasan hutan. Masyarakat yang berladang di tanah ulayat atau tanah adat mereka seringkali dianggap mengganggu lahan konservasi,” ujar Leonardy.
Leonardy mencontohkan, masyarakat ingin menggarap lahan ulayat mereka yang berada di perbukitan di dekat jorong atau nagarinya, ternyata diadukan dengan tuduhan telah merusak hutan lindung. Jangankan berladang, menebang satu pohon saja pun diadukan merusak hutan konsevasi.
Dijelaskannya, pada September 2017, dua lelaki dari Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terpaksa mendekam di balik jeruji gara-gara menebang pohon di tanah yang mereka klaim ulayat sendiri. Mereka ditangkap tim gabungan Badan Konsevarsi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Polisi Kehutanan pada 27 September 2017. Oleh kedua institusi itu, tanah tempat bertumbuhnya pohon yang ditebang mereka diklaim sebagai Kawasan Cagar Alam.
Kendala lainnya, dalam pengaturan dan tata ruang daerah, pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam perubahan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang sesuai dengan perkembangan terkini di daerah mereka. Paling sedikit dibutuhkan waktu 3,5 tahun dan itu pun baru sampai harmonisasi peraturan di tingkat kementerian.
Menyikapi ini, Komite I berpandangan bahwa hutan dan kekayaannya merupakan bagian dari kekayaan nasional yang wajib dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat di daerah dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan. Namun, dalam praktiknya pengelolaan hutan dan kekayaannya telah menimbulkan berbagai persoalan yang salah satunya adalah konflik kehutanan. Oleh karena itu pengelolaan hutan yang adil, berkepastian dan berkelanjutan serta berpihak kepada kepentingan masyarakat Daerah sangat dibutuhkan.
Lebih lanjut Leonardy menyebutkan dengan adanya program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, diharapkan berbagai konflik yang terjadi di kawasan hutan dapat diselesaikan dengan baik dan berpihak kepada kepentingan masyarakat khususnya masyarakat di kawasan hutan (termasuk masyarakat adat). Oleh karena itu, sebagai bentuk komitmen Komite I yang merupakan orang daerah telah sepakat untuk membentuk Tim Kerja bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) RI.
“Tim Kerja ini nantinya menjadi wadah alternatif bagi penyelesaian berbagai konflik kehutanan di kawasan hutan dan sekaligus mendorong percepatan Reforma Agraria dan perhutanan sosial di daerah,” tegasnya.
Pada Rapat Kerja Komite I DPD RI bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tersebut dipimpin oleh Ketua Komite I, Fachrul Razi, didampingi oleh Wakil Ketua Komite I, Abdul Khalik dan Fernando Sinaga.
Hadir juga anggota Komite I DPD RI antara lain Agustin Teras Narang, Instianawaty Ayus, Filep Wamafma, Amang Syafrudin, Maria Goreti, Abdurahman Thoha, GKR Hemas, Richard Hamonangan, Hudarni Rani, Badikenita Sitepu, Dewa Putu Ardika, Almalik Papabari, Husain Alting, dan Abdurrahman Thoha.
Sementara dari KLHK dihadiri oleh Menteri Siti Nurbaya Bakar, didampingi Sekjen KLHK, Inspektorat Jenderal, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Drijen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Dirjen Hutan Produksi Lestari, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Drijen Pengendalian Perubahan Iklim, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan sejumlah Staf Ahli beserta jajarannya. (*)
DPD RI/hantaran.co