PADANG,HANTARAN.Co-–Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat bersama Tim Perumus Data dan Resolusi Indonesia (PDRI) resmi mengadukan Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD, Kapolda, serta seluruh Kapolres dan Kapolresta di Sumatera Barat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sumatera Barat, Selasa (7/10/2025).
Laporan ini terkait maraknya aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang dinilai telah menciptakan krisis sosial, ekologis serta pelanggaran hak asasi manusia di berbagai wilayah Sumbar.
Langkah hukum ini merupakan bentuk kekecewaan mendalam terhadap negara yang dianggap gagal menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Menurut WALHI, aktivitas tambang ilegal kini tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga telah menelan korban jiwa, menghancurkan wilayah kelola rakyat, dan menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian daerah serta negara.
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Barat,Wengki Purwanto menegaskan bahwa aktivitas PETI telah mencapai titik kritis dan berlangsung secara terbuka di berbagai kabupaten/kota.
“Tambang ilegal ini bukan lagi fenomena kecil. Ia sudah menjadi kejahatan lingkungan yang terorganisir, dilakukan di kawasan hutan lindung, DAS, bahkan tak jauh dari permukiman warga dan kantor pemerintahan,” ujar Wengki dalam keterangannya.
Berdasarkan laporan WALHI yang diserahkan ke Komnas HAM, luas area PETI di Sumatera Barat mencapai 7.662 hektare di empat kabupaten yang menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari, yaitu Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, dan Sijunjung.
Selain itu, temuan lapangan menunjukkan ada 31 titik tambang ilegal di Kabupaten Solok dan 116 titik di Kabupaten Sijunjung. Sebagian besar berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Aktivitas ini juga berdampak lintas provinsi, terutama terhadap ekosistem di Riau dan Jambi yang dialiri Sungai Indragiri dan Batang Hari.
Wengki menambahkan, selain menggunakan kapal dompeng di sungai, tambang ilegal di Sumbar kini juga mengoperasikan puluhan hingga ratusan alat berat setiap hari.
“Satu alat berat bisa mengonsumsi hingga 450 liter BBM dalam sekali operasi. Bayangkan berapa besar pasokan BBM yang masuk ke tambang ilegal ini tanpa pengawasan,” ungkapnya.
Ia menilai, rantai pasokan BBM, alat berat, hingga peredaran merkuri dan emas perlu dibongkar karena menjadi bagian dari bisnis ilegal yang merusak lingkungan dan memperkaya segelintir orang.
Lebih jauh, WALHI juga menyinggung indikasi kuat keterlibatan aparat penegak hukum dalam bisnis tambang ilegal. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah persidangan etik AKP Dadang Iskandar pada 2024, yang mengungkap adanya aliran dana hingga Rp600 juta per bulan kepada pejabat Polres Solok Selatan yang diduga berasal dari setoran aktivitas PETI.
“Ini bukti bahwa kejahatan lingkungan di Sumbar sudah masuk ke jantung institusi penegak hukum,” ujar Wengki.
Sementara itu, Tedi Berlian, juru bicara PDRI Sumatera Barat, menegaskan bahwa laporan ke Komnas HAM ini merupakan langkah strategis untuk mengungkap krisis politik dan hukum di balik maraknya tambang ilegal.
“Kami melihat akar persoalan bukan sekadar di lapangan, tapi pada krisis moral dan keberpihakan di tingkat pimpinan daerah dan institusi hukum,” ucap Tedi.
Ia menyebut, pasca perintah Presiden Prabowo Subianto kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk memberantas tambang ilegal pada Agustus lalu, tidak ada perubahan signifikan di lapangan.
“Bahkan setelah rapat Forkompimda pada 10 September 2025 dan rapat khusus Gubernur dengan seluruh Bupati/Wali Kota pada 19 September 2025, aktivitas PETI tetap jalan terus. Ini bukti bahwa instruksi pusat tidak diterjemahkan menjadi tindakan di daerah,” tambah Tedi.
Dalam laporan yang diterima langsung oleh Komnas HAM Sumbar, WALHI dan PDRI meminta lembaga itu untuk memanggil dan memeriksa seluruh pejabat eksekutif, legislatif, dan penegak hukum yang wilayahnya masih menjadi sarang aktivitas tambang ilegal.
Mereka juga mendesak agar Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap instansi yang bertanggung jawab atas peredaran alat berat, BBM, merkuri, dan emas di Sumbar. “Rantai bisnis ini harus dibuka secara transparan karena di sanalah sumber masalahnya,” tegas Tedi.
Selain menuntut penyelidikan, WALHI dan PDRI juga meminta Komnas HAM meningkatkan pengawasan terhadap perlindungan pembela lingkungan (environmental defender) dan menegakkan pasal-pasal anti-SLAPP agar aktivis lingkungan tidak dikriminalisasi saat mengungkap kejahatan lingkungan.
“Negara harus segera bertindak. Jangan biarkan Sumatera Barat menjadi ladang eksploitasi tanpa hukum. Tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif — ini pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat yang kehilangan tanah, air, udara, dan masa depan,” pungkas Wengki.