Hilirisasi Pertanian di Sumbar Lemah, Petani Makin Susah

hkti pessel pupuk

Ilustrasi petani

PADANG, hantaran.co — Lemahnya hilirisasi pertanian di Sumbar dan Indonesia secara umum berdampak negatif pada kesejahteraan petani. Dari tahun ke tahun, petani terus bertambah miskin karena tidak mendapatkan inovasi-inovasi dan teknologi yang tepat.

Guru Besar Ilmu Pembangunan Pertanian Fakultas Pertanian Unand, Prof Helmi mengungkapkan sejumlah kelemahan pengelolaan pertanian di Sumbar. Salah satu yang paling disoroti lemahnya hilirisasi dari produk pertanian.

“Hilirisasi artinya keluar dari sebatas memproduksi produk pertanian segar dan memulai mengolah produk segar itu sehingga bisa menghasilkan nilai tambah. Tidak hanya Sumbar, di Indonesia secara umum masih lambat sekali pertumbuhan dari industri olahan itu. Jika dijual dalam bentuk bahan segar, harganya berfluktuasi, ini persoalan yang dihadapi petani selama ini,” katanya.

Harga yang berfluktuasi itu terjadi salah satunya pada cabai. Ia mengatakan saat harganya meningkat, cabai bisa mencapai 100 ribu perkilo, kemudian sewaktu-waktu harganya bisa jauh turun dan merosot. Turun naiknya harga secara drastis itu jadi risiko besar bagi petani.

“Solusinya untuk mengatasi itu, pemerintah mesti segera mengembangkan agro industri atau industri olahan produk pertanian. Ini harus jadi agenda utama ke depan. Jika ini berjalan dengan baik, permintaan bahan baku akan tinggi dan petani juga akan berpacu meningkatkan jumlah maupun kualitas produk pertanian mereka,” ungkapnya.

Saat ini, katanya, pelaku industri olahan pertanian di Sumbar masih sangat terbatas. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin mendorong anak-anak muda masuk ke dalam pertanian, sebagian di antaranya harus diarahkan untuk jadi wirausahawan dalam pengembangan agro industri.

“Agro industri ini memerlukan pengembangan ekosistem, tidak cukup hanya disediakan teknologi saja. Pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini juga cenderung bersifat parsial atau sepotong-sepotong. Pembentukan ekosistem berarti keseluruhan, mulai dari teknologi, pelaku, pembiayaan, dan pasarnya harus dipersiapkan,” katanya.

Sumbar, katanya, memiliki sejumlah komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan dalam agro industri. Misalnya beras yang berkualitas tinggi yang dihasilkan petani di Solok dan Agam. Beras itu harus diolah dan dikemas dengan baik bisa dijual sebagai beras premium dengan harga yang jauh lebih tinggi.

“Selain itu juga ada kopi, rempah, minyak kelapa, buah-buahan, dam jagung . Jika agro industri tidak dikembangkan komoditas potensial dan punya kualitas ini tidak akan kompetitif. Agro industri ini juga harus ditopang oleh pasokan bahan baku segar. Sebab Sumbar pernah terkenal dengan minyak kelapa, namun itu tidak bisa dipertahankan karena ketersediaan bahan bakunya sudah jauh berkurang,” katanya.

Cabai, katanya, juga berpotensi besar untuk dikembangkan. Produksi cabai Sumbar cukup tinggi, tapi persoalannya selama ini petani kerap dirugikan karena modal yang dikeluarkan dengan harga jual tidak sebanding.

“Olahan dari cabai akan sangat potensial, terlebih masyarakat Sumbar menyukai makanan pedas. Kurang afdol makan tanpa cabai. Bayangkan yang berangkat umrah atau haji. Sebelum covid-19, jemaah umrah dari Sumbar perbulan itu mencapai tiga ribu orang. Karena kita tidak mampu memenuhi kebutuhan jemaah, terutama olahan cabai, seperti produk bon cabe. Padahal ini bisa diproduksi sendiri, karena teknologi yang digunakan untuk olahan itu cukup sederhana, tapi masalahnya kembali lagi, Sumbar amat kekurangan jumlah pelaku industri ini,” ungkapnya.

Ekonom Unand, Prof Elfindri kepada Haluan mengatakan rendahnya daya saing produk pertanian di Sumbar yang terjadi belakangan ini disebabkan lemahnya inovasi-inovasi dalam sektor hilirisasi. Sejumlah persoalan yang menjadi penghambat dalam menumbuhkembangkan sektor hilirisasi, pertama enggan memulai dan masih amat bergantung pada inovasi pertanian yang dikembangkan negara lain.

“Bisa dilihat, sejauh ini belum ada mesin pertanian yang sudah diciptakan untuk membantu para petani. Belum mandiri. Selain itu, kampus atau riset yang dihasilkan tidak mampu menjawab persoalan yang sedang di hadapi petani saat ini,” ungkapnya.

Selain itu, orang Minangkabau, katanya, selama ini terkenal dengan jiwa dagang. Masyarakat Minang lebih memilih untuk jadi pedagang hasil pertanian dibandingkan melakukan inovasi untuk produksi pertanian. Artinya, sangat sedikit jumlah orang yang punya keinginan untuk mengembangkan sektor hilirisasi yang bertujuan memberikan nilai tambah bagi produk pertanian.

“Lemahnya hilirisasi produk pertanian amat berdampak pada kesejahteraan petani. Tiap tahun petani bertambah miskin. Karena petani tidak mendapatkan inovasi yang tepat, petani selalu dihadapkan dengan persoalan hama dan penyakit tumbuhan, pupuk yang mahal, harga yang berfluktuasi akibat dibukanya kran impor,” katanya.

Ia mengatakan ubi kayu menjadi salah satu komoditas paling potensial untuk dikembangkan di Sumbar. Sebab, kata Komisaris Konsorsium Bisnis Minangkabau (KBM) itu ubi kayu modalnya rendah dan risiko gagalnya juga rendah.

“Hilirisasi dari tepung ubi kayu ini dikenal dengan tepung mocaf yang masuk dalam kategori tepung gluten free yang kadar gulanya sangat rendah. Masyarakat yang tengah diet akan memilih mengkonsumsi tepung tersebut dan saat ini permintaannya tinggi,” katanya.

Tepung jenis ini, katanya, bukan hanya bisa dijadikan sebagai bahan baku untuk mie, tapi juga roti. Karena kadar gulanya rendah, di Eropa sudah banyak masyarakat yang beralih dari terigu ke mocaf.

“Namun untuk pengembangan semacam itu dibutuhkan mesin produksi untuk mengolah ubi kayu menjadi tepung. Kami di Konsorsium Bisnis Minangkabau (KBM) telah memproduksi mie berbahan baku mocaf, permintaannya luar biasa. Jika serius dikembangkan, tentu juga akan dapat menambah luas lapangan kerja di Sumbar,” ungkapnya.

 

 

(Riga/Hantaran.co)

Exit mobile version