PADANG, hantaran.co – Rencana vaksinasi yang tengah dikebut pemerintah berpeluang membuat warga lengah dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes) secara ketat. Selain itu, pelaksanaan vaksinasi tahap awal pada pertengahan Januari 2021 ini akan menjadi kunci sukses pelaksanaan vaksinasi pada tahap-tahap berikutnya.
Hal itu disampaikan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Provinsi Sumbar, Defriman Djafri, kepada Haluan, Jumat (8/1/2021). Menurutnya, pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan harus berupaya lebih keras meningkatkan pemahaman warga bahwa prokes tetap penting meski vaksin telah tersedia.
“Sejak awal wacana vaksinasi, saya sudah ikut mewanti-wanti bahwa informasi tentang vaksin akan menimbulkan disinformasi. Seolah-olah dengan ketersediaan vaksin, masyarakat bisa lepas dari Prokes,” kata Defriman.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (FKM Unand) itu menyebutkan, penerapan prokes tetap harus menjadi pondasi awal dalam mencegah penularan virus, termasuk menjaga diri dari potensi virus varian baru hasil mutasi virus corona penyebab Covid-19, yang belakangan cukup menimbulkan kekhawatiran.
“Seharusnya, setelah lebih kurang satu tahun hidup di tengah wabah, penerapan prokes sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat kita,” ucapnya lagi
Ada pun terkait masih ada warga masyarakat yang meragukan keamanan vaksin, Dafriman menilai kuncinya ada pada komunikasi risiko oleh pemerintah serta pemangku kepentingan terkait. Dengan demikian, Satgas Penanganan Covid-19 tidak lagi sekadar bertugas menyampaikan tentang perkembangan virus, tetapi juga harus mengambil peran dalam komunikasi risiko terkait vaksin.
“Masyarakat harus diberi informasi yang utuh. Saya sudah berulang kali mengatakan, bahwa vaksin itu tidak ada yang 100 persen clean atau tanpa risiko. Tentu tugas kami sebagai epedimiologis atau tenaga medis untuk meminimalkan risiko itu. Sementara itu pemerintah bertugas menyampaikan informasi yang utuh,” katanya lagi.
Salah satu risiko yang harus disampaikan kepada masyarakat, kata Defriman, adalah informasi tentang gejala yang akan dialami masyarakat setelah disuntik vaksin. “Reaksi suntik itu ada. Oleh sebab itu muncul istilah KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Itu yang harus diinformasikan kepada masyarakat secara utuh,” ujarnya tegas.
Selain itu, lanjut Defriman, hal yang juga tak kalah penting dijelaskan adalah terkait pendistribusian vaksin yang telah dilakukan meski izin dari Badan POM belum diperoleh. Sebab, langkah pemerintah yang melakukan distibusi vaksin tanpa ada izin itu bisa dinilai masyarakat sebagai langkah atau upaya pemaksaan.
“Tentu masyarakat menilai sikap pemerintah seolah-olah memaksakan. Seharusnya pemerintah lewat Satgas memiliki kapasitas untuk menjelaskan itu. Bisa dilihat sekarang, kepercayaan publik kepada vaksin masih cukup rendah,” katanya lagi.
Vaksinasi tahap satu yang akan berlangsung, kata Defriman lagi, menjadi kunci untuk kelancaran vaksinasi pada tahap berikutnya. Selain itu, karena pada tahap pertama yang menerima vaksin adalah tenaga medis, maka pemerintah juga harus bisa meyakinkan tenaga kesehatan tentang keamanan dari vaksin tersebut.
“Jika tahap satu ini tidak sukses, maka akan berdampak terhadap tahap selanjutnya. Kalau nakes saja ragu dan menolak untuk divaksin, bagaimana nanti masyarakat. Apakah risiko itu sudah terbaca oleh pemerintah atau belum. Jika nanti tingkat efektivitas dari vaksin ini di atas 70 persen, saya yakin masyarakat akan berbondong-bondong untuk divaksin. Jadi, tahap satu ini jadi kunci,” katanya menutup. (*)
Riga/hantaran.co