PADANG, Hantaran – Curah hujan di Sumatera Barat (Sumbar) berpotensi rendah. Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) imbau masyarakat hemat air.
Kepala Stasiun Meteorologi Minangkabau – Padang Pariaman, Sakimin menyebut meskipun masih berada dalam musim penghujan, tapi potensi curah hujan di Sumbar cenderung rendah.
“Sebenarnya masih musim penghujan, tapi ada pengaruh dinamika atmosfer regional yang menyebabkan massa udara basah yang membentuk awan-awan hujan bergerak ke bagian selatan Sumatera dan Pulau Jawa hingga di Sumbar potensi hujannya cenderung rendah,” kata Sakimin kepada Hantaran.co, Jumat (19/2).
Menyikapi kondisi itu, Sakimin mengimbau masyarakat berhemat air dan tetap menjaga kelestarian alam agar keseimbangan alam tetap bisa dikendalikan.
BMKG memprakirakan intensitas hujan akan kembali meningkat pada saat pertengahan Maret hingga akhir Mei 2021 dengan puncak curah hujan berada pada bulan April hingga awal Mei.
Lebih lanjut mengenai kondisi cuaca Sakimin juga menjelaskan, fenomena cuaca di sebagaian besar Sumbar terasa lebih panas dibanding biasanya. Kondisi cuaca panas ini diprakirakan mulai berkurang pada awal Maret 2021.
“Berdasarkan pantauan dari Stasiun Meteorologi Minangkabau, tercatat sejak awal Fenruari suhu udara maksimum berkisar antara 31 hingga 33°C yang terjadi pada siang hari. Bahkan pada 9 Februari 2021 lalu tercatat suhu maksimum tertinggi mencapai 34.2 °C. Kondisi suhu udara yang tinggi ini memberikan efek sensasi lebih panas yang dirasakan oleh masyarakat di Sumatera Barat,” tuturnya.
Berdasarkan analisis BMKG Stasiun Meteorologi Minangkabau beberapa faktor dinilai berkontribusi terhadap kondisi tersebut.
Pertama, posisi matahari berdasarkan gerak semu tahunan berada di belahan bumi selatan dekat ekuator yang bergerak ke arah ekuator.
Kondisi ini menyebabkan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi di wilayah tersebut termasuk Sumatera Barat relatif menjadi lebih banyak, sehingga akan meningkatkan suhu udara pada siang hari.
Kedua, adanya pengaruh Angin Monsun Asia dan adanya pola pertemuan Massa Udara dan Sistem Tekanan Rendah di sekitar Jawa.
“Hal itu menyebabkan terjadi perpindahan massa udara basah di lapisan atas atmosfer Sumatera Barat, sehingga menyebabkan pergeseran massa udara ke arah selatan dan tenggara Sumatera sehingga profil lapisan vertikal atmosfer di Sumatera Barat relatif kering dan tidak mendukung proses pertumbuhan awan,” ucapnya lebih lanjut.
Ketiga, faktor kelembaban udara. Kelembaban udara di permukaan relatif tinggi pada siang hari berkisar antara 70-75 persen.
Kelembaban udara yang tinggi di permukaan menyebabkan suhu udara terasa lebih hangat (sumuk) akibat panas laten yang yang terkandung dalam uap air di udara.
Keempat, Kelembaban udara yang tinggi ini disebabkan adanya lapisan inversi dekat permukaan.
Secara umum, kata Sakimin, suhu udara akan berkurang ketika terdapat pertambahan ketinggian sehingga uap air dapat bergerak naik untuk membentuk pertumbuhan awan-awan hujan.
Namun, dengan adanya lapisan inversi tersebut proses pergerakan uap air tersebut tertahan dan terakumulasi di permukaan bumi. Pembentukan awan juga terhambat karena uap air tidak naik ke atas dimana terjadi peristiwa kondensasi.
Kondisi tersebut sangat menghambat pertumbuhan awan yang berfungsi menghalangi panas terik matahari.
Minimnya tutupan awan ini akan mendukung pemanasan permukaan yang kemudian berdampak pada meningkatnya suhu udara pada siang hari.
Menurut Sakimin, beberapa faktor di atas menyebabkan kondisi cuaca yang panas yang mempengaruhi indeks kenyamanan tubuh manusia. Semakin tinggi suhu udara yang diikuti dengan tingginya kelembaban udara, maka suhu udara panas yang dirasakan tubuh manusia juga akan semakin meningkat.
(Yesi/Hantaran.co)