PADANG, hantaran.co — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI Nadiem Makarim segera mengeluarkan izin pembelajaran tatap muka di sekolah yang berada di daerah zona kuning Covid-19, asal tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai keputusan itu sangat berisiko.
Komisioner KPAI Retno Listyarti Retno sangat menyayangkan keputusan tersebut. Ia menekankan, bahwa hak sehat bagi anak-anak adalah prioritas pada masa pandemi. Dalam keterangan tertulisnya, ia ikut menyinggung kasus Covid-19 yang menulari guru dan operator sekolah di Pariaman beberapa waktu lalu.
“KPAI menyayangkan keputusan pemerintah merevisi SKB 4 menteri dengan mengizinkan pembelajaran tatap muka pada zona kuning, padahal sangat berisiko bagi anak-anak,” kata komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/8).
Bahkan dalam satu kasus di Pariaman, sebut Retno, terdapat kasus di mana satu guru dan satu operator sekolah terpapar virus Covid-19, sehingga sebanyak 30 siswa di sekolah itu harus diuji swab dan sekolah kemudian kembali diliburkan.
“Artinya, kalau ada satu siswa terinfeksi, 30 siswa lain harus dites. Kalau belum terbukti terinfeksi Covid-19, biaya tes tidak ditanggung pemerintah pusat. Jadi, kalau pas buka sekolah dan ternyata ada kasus Covid-19, siapakah yang akan menanggung biaya tes untuk 30 anak/guru di klaster tersebut,” ujar Retno.
Namun di sisi lain, KPAI mengapresiasi Kemendikbud bahwa akhirnya kurikulum dalam situasi darurat atau kurikulum yang disederhanakan sudah dibuat, meski barangnya belum diketahui publik dan KPAI juga belum mendapatkan Permendikbud tentang standar isi dan standar penilaian.
Sementara itu, Juru Bicara Penanganan Covid-19 Sumbar Jasman Rizal menyikapi, bahwa kebijakan pembukaan kembali sekolah dan belajar tatap muka di zona kuning memang mesti dikembalikan ke pemerintah daerah (pemda) masing-masing. Sebab, Pemda lebih memahami perkembangan kasus di daerah.
“Melihat dari angka kasus di Sumbar yang kembali menanjak sejak Idul Adha, kesempatan menggelar kembali belajar tatap muka di sekolah tentu sedapat mungkin kita hindari. Saya kira sudah tepat jika menteri membolehkan, tetapi tidak memaksakan, dan tergantung pertimbangan daerah,” sebut Jasman.
Tidak Dipaksakan
Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim dalam konferensi pers secara daring, Jumat (7/8) mengatakan, pihaknya akan merevisi pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk diperbolehkan di zona kuning. Namun, pihaknya tidak akan memaksakan dan tidak akan memandatkan pelaksanaan tersebut.
Nadiem menekankan, pembukaan sekolah di zona kuning berlaku bagi jenjang SMA/SMK, SMP, dan SD. “Sementara itu untuk PAUD, hanya bisa dilakukan dua bulan setelah mulainya implementasi tatap muka tersebut,” kata Nadiem lagi.
Zonasi daerah sendiri dikategorikan berdasarkan tingkat risiko. Zona merah adalah daerah tinggi risiko, zona oranye risiko sedang, zona kuning risiko rendah, dan zona hijau adalah daerah yang tidak terdampak. Penentuan zona sendiri didasarkan pada indikator kesehatan masyarakat mulai dari indikator epidemiologi, indikator surveilans kesehatan masyarakat, dan indikator pelayanan kesehatan.
“Sekali lagi, bahwa kebijakan ini tidak bersifat mutlak. Ketika Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan setempat belum siap, maka pembukaan sekolah di zona kuning tak harus dilakukan. Pihak sekolah diminta memaklumi jika ada orang tua yang tidak mengizinkan anaknya pergi sekolah karena takut penularan Covid-19. Kita masih mementingkan otonomi dan prerogatif setiap Pemda, kepala sekolah, dan komite sekolah, dan setiap orang tua,” tutur Nadiem.
Nadiem Makarim mengakui, bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sejauh ini memang berdampak negatif dan permanen. Salah satu efek negatif itu adalah ancaman putus sekolah. “Efek daripada PJJ secara berkepanjangan itu bagi siswa adalah efek yang bisa sangat negatif dan permanen,” kata Nadiem lagi.
Nadiem menjelaskan ketika peserta didik menjalankan PJJ secara tidak optimal dan koneksi internet untuk pembelajaran daring tak lancar, hal itu dapat berakibat fatal bagi peserta didik “Kemungkinan beberapa persepsi orang tua juga berubah terkait peran sekolah dalam proses pembelajaran yang tidak optimal. Sehingga ancaman putus sekolah ini sesuatu yang riil dan berdampak seumur hidup bagi anak-anak kita,” kata Nadiem.
Dampak lainnya yaitu ancaman penurunan capaian pembelajaran. Nadiem mengatakan PJJ mengakibatkan materi pelajaran tak terserap dengan baik oleh siswa. Hal itu masih harus ditambah kesenjangan kualitas akses yang digunakan untuk PJJ secara daring.
Eks bos Gojek itu mengatakan, efek PJJ ini mengakibatkan kekerasan pada anak semakin meningkat. Selain itu tekanan mental yang dirasakan peserta didik juga semakin meningkat. “Risiko psikososial anak karena stres di dalam rumah, tidak bisa keluar, dan tidak bertemu teman,” imbuhnya, dikutip dari cnnindonesia.com.
Nadiem juga menyampaikan, bahwa pihaknya telah merancang kurikulum darurat di masa pandemi. Kurikulum ini berisi penyederhanaan materi yang tujuannya untuk memberikan fleksibilitas bagi peserta didik dan guru, dalam mengoptimalkan PJJ ini.
Pemerintah sendiri telah meniadakan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020. Imbasnya, peserta didik diminta menerapkan PJJ di rumah dengan panduan dari pihak sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19 yang diterbitkan 24 Maret lalu.
Utamakan Keselamatan
Masih dalam konferensi pers daring yang sama, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengungkap jumlah daerah zona kuning yang bakal kembali dibuka untuk aktivitas belajar tatap muka.
“Ada 163 zona kuning yang kiranya akan bisa dilakukan kegiatan belajar tatap muka, tetapi sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” ujar Doni.
Sementara itu di sisi lain, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan relaksasi pembelajaran tatap muka di zona kuning virus corona. Namun ia mengingatkan, agar aktivitas belajar tatap muka harus mementingkan aspek keselamatan dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
“Kemenkes sepenuhnya mendukung kebijakan relaksasi pembelajaran tatap muka di zona kuning dengan tetap mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan anak,” kata Oscar, dikutip dari cnnindonesia.com.
Kemenkes akan meningkatkan peran puskesmas untuk pembinaan protokol kesehatan di satuan pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan di lingkungan pendidikan. “Kami akan terus meningkatkan peran puskesmas dalam upaya promotif preventif melakukan pembinaan protokol kesehatan di satuan pendidikan serta meningkatkan layanan fasilitas kesehatan,” ucapnya.
Ishaq/Net/hantaran.co