Banyak Faktor Sebabkan Petahana Tumbang

Sumbar

Petahana. Ilustrasi

PADANG, hantaran.co — Pilkada serentak 2020 di Sumbar menjadi ajang pembuktian bagi sejumlah calon petahana. Sayangnya, hingga rekapitulasi resmi hari kelima, Minggu (13/12/2020), baru empat petahana yang hampir pasti kembali ke rumah dinas. Pengamat melihat, banyak faktor yang menyebabkan para petahana tak lagi memperoleh kepercayaan.

Keempat petahana yang raihan suaranya tengah memimpin rekapitulasi resmi jumlah suara antara lain, Calon Bupati (Cabup) Dharmasraya Sutan Riska, Calon Wali Kota (Cawako), Solok Zul Elfian, Calon Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur (petahana wakil bupati), dan Calon Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar (petahana wakil bupati).

Sementara itu para petahana yang berdasarkan rekapitulasi berpotensi keok pada Pilkada kali ini antara lain, Calon Gubernur (Cagub) Nasrul Abit (petahana wagub), Cabup Pessel Hendra Joni, Cawabup Solok Yulfadri (petahana wabup), Cabup Sijunjung Arrival Boy (petahana wabup), Cabup Tanah Datar Zuldarfi Darma (petahana wabup).

Selanjutnya, Cabup Agam Trinda Farhan (petahana wabup), Cabup Limapuluh Kota Ferizal Ridwan (petahana wabup), Cabup Solsel Abdul Rahman, Cabup Pasaman Barat Yulianto, Cawako Solok Reinier (petahana wawako), Cawako Bukittinggi Ramlan Nurmatias, dan Cawako Bukittinggi Irwandi (petahana wawako).

Tumbangnya para petahana, dinilai Pengamat Politik Universitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidia Putra sebagai efek dari banyak faktor. Salah satunya, tidak mampunya petahana mempertahankan lumbung suara, yang bisa saja didasari kurang puasnya masyarakat atas kememimpinan pada periode jabatan sebelumnya (yang masih berjalan hingga Pilkada).

“Bisa jadi juga karena pelayanan semasa pandemi Covid-19 yang dinilai tidak optimal. Wabah ini kan sangat dirasakan dampaknya. Warga banyak yang tidak mampu mengatasi dampak itu sendirian dan sangat membutuhkan pemerintah. Pandemi itu yang akhirnya menyadarkan di mana seorang pemimpin saat warga membutuhkan,” kata Eka kepada Haluan, Sabtu (12/12/2020).

Pada masa sebelum pandemi, kata Eka, sebagian warga kesulitan melacak hubungan antara kebijakan pemimpin daerah dengan aktvitas dan kehidupan warga. Namun, pada masa pandemi waraga bisa melihat dan merasakan langsung bahwa kebijakan dan pelayanan pemerintah sangat mempengaruhi kehidupan.

“Mungkin itu yang mendasari sebagian warga menjatuhkan pilihan pada sosok yang baru, dengan harapan pemimpin baru bisa mengatasi persoalan-persoalan yang muncul sejak pandemi Covid-19 berlangsung,” katanya lagi.

Di sisi lain, Pengamat Politik Universitas Andalas (Unand), Edi Indrizal, melihat, tumbangnya petahana di sejumlah kabupaten/kota di Sumbar juga tidak dapat dilepaskan dari kekhasan yang selalu terjadi pada Pilkada serentak, dan keterkaitan antara satu Pilkada dengan Pilkada yang lain.

“Saya melihat di beberapa tempat, ada irisan Pilkada kabupaten/kota ini dengan Pilkada provinsi. Misalnya di Limapuluh Kota, yang petanya lebih kurang sama dengan Sumbar, begitupun dengan Bukittinggi. Jadi, pada Pilkada Bukittinggi, Limapuluh Kota, dan Sumbar, terlihat mesin partai itu bergerak, dan merata,” tutur Koordinator LSI Sumbar Riau Jambi itu.

Kekalahan Telak Petahana

Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Djohermansyah Djohan, menilai, kekalahan para calon petahana pada Pilkada di Sumbar adalah kekalahan yang telak jika dilihat dari persentase secara keseluruhan. Hal itu bahkan telah tergambar dari hasil hitung cepat pada Rabu 9 Desember lalu.

“Hanya empat petahana yang menang. Ini namanya, calon petahana kalah telak di Sumbar. Ada beberapa faktor penyebab kekalahan petahana ini,” kata Pakar Ilmu Pemerintahan itu kepada Haluan, Jumat (11/12/2020).

Faktor pertama, kata Prof Djo—sapaannya—adalah faktor dari pemilih atau masyarakat. Sedangkan faktor kedua adalah faktor para calon itu sendiri. Dari faktor pemilih, masyarakat di Sumbar tampak realitis dan dinamis dalam menentukan pemimpin daerah. Salah satunya dengan melihat bagaimana kinerja calon petahana saat menjabat di periode yang sedang berjalan.

“Kalau calon petahana itu menunjukkan kinerja dan prestasi yang bagus selama ini, tentu akan dipilih kembali, tapi kalau kinerjanya hanya sekadar ‘lapeh makan’, tentu masyarakat akan mencoba ‘lakek tangan’ calon yang lain,” ujar Prof. Djo.

Ada pun faktor dinamis, sambungnya, berkaitan dengan masyarakat Sumbar yang tidak dikenal loyal terhadap kandidat tertentu. Masyarakat Minangkabau dinilainya saat memilih pemimpin, betul-betul melihat dari kualitas calon yang akan dipilih itu sendiri. “Contoh pada Pilkada Bukittinggi. Calon petahana M. Ramlan Nurmatias berpasangan dengan Syahrizal, tapi kalah dari pendatang baru Erman Safar dan Marfendi. Tampak di sini, warga Bukittinggi sudah menilai apa yang dilakukan oleh Ramlan selama ini, sehingga memutuskan mencoba yang baru,” kata Prof. Djo menutup. (*)

Ishaq/Leni/hantaran.co

Exit mobile version