Sumbar

Tudingan Pembalakan Liar Menguat Usai Bencana di Sumbar

5
×

Tudingan Pembalakan Liar Menguat Usai Bencana di Sumbar

Sebarkan artikel ini
Bencana

Desakan pengusutan illegal logging juga datang dari Kepala BP BUMN, Dony Oskaria, yang menegaskan bahwa banjir bandang di Sumbar, Aceh, dan Sumatera Utara tidak bisa dianggap semata-mata akibat cuaca ekstrem. Menurutnya, 99 persen kejadian itu dipicu kerusakan hutan akibat praktik penebangan ilegal.

Dony menyoroti beredarnya foto dan video yang memperlihatkan banjir membawa gelondongan kayu ke permukiman warga. Fenomena itu, katanya, merupakan indikator bahwa fungsi hutan sebagai penyerap air telah rusak.Ia meminta Polda di tiga provinsi tersebut segera menindak para pelaku untuk mencegah bencana berulang, terutama karena curah hujan tinggi diprediksi masih berlangsung. “Pemerintah daerah harus memperkuat mitigasi bencana dengan bekerja dalam satu komando. Sinergi lintas sektor menjadi penentu keberhasilan pemulihan wilayah terdampak,” katanya.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat kembali mengingatkan bahwa rangkaian banjir bandang, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang terjadi secara bersamaan merupakan puncak dari krisis ekologis yang berlangsung lama.

WALHI menilai kerusakan dari hulu hingga hilir merupakan dampak akumulasi tata kelola ruang yang abai terhadap keselamatan publik. WALHI juga menyebut ketidakadilan pengelolaan ruang, alih fungsi kawasan hulu, tambang ilegal, pembukaan lahan tanpa kajian risiko serta illegal logging sebagai akar persoalan.

Mereka menilai pemerintah daerah gagal menjalankan mandat konstitusi untuk menjaga hak warga atas lingkungan yang sehat sebagaimana diatur Pasal 28H UUD 1945. Tommy Adam dari Divisi Hukum dan Penguatan Kelembagaan WALHI Sumbar mengatakan kelengkapan data mitigasi dan kajian risiko selama ini tidak pernah diimplementasikan secara serius oleh pemerintah daerah. “Karena itu, wilayah-wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terus mengalami bencana ekologis setiap tahun,” katanya.

Lebih dari dua dekade terakhir, WALHI mencatat Sumbar kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap dan 740 ribu hektare total tutupan pohon. “Pada 2024 saja, 32 ribu hektare hutan hilang. Angka itu menunjukkan degradasi ekologis yang berlangsung masif dan sistematis,” katanya.

Di Kota Padang, katanya, tekanan ekologis paling parah terjadi di kawasan hulu, terutama DAS Aia Dingin dan DAS Kuranji. WALHI menyebut Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon sejak 2001. “Hulu DAS yang seharusnya menjadi benteng ekologis kini mengalami deforestasi berat sehingga meningkatkan erosi dan sedimentasi yang memicu banjir bandang,” katanya.

WALHI menilai selama paradigma pembangunan masih menempatkan investasi sebagai prioritas, bencana ekologis akan terus berulang.“Banjir bandang yang terjadi ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan keras bahwa tata ruang yang abai akan keselamatan rakyat,” katanya.