Bencana besar yang menimpa tiga provinsi di Sumatera kembali menguji kesiapan negara dalam merespons keadaan darurat. Pemerintah pusat telah bergerak, Presiden Prabowo Subianto sendiri turun langsung, dan pemerintah daerah di wilayah terdampak sudah berupaya maksimal. Namun persoalan yang paling mendasar justru berada pada dukungan kolaborasi dan koordinasi lintas daerah, serta kerangka regulasi kebencanaan kita yang sudah usang dan tidak lagi memadai untuk era krisis iklim global.
Dalam kacamata pemerintahan dan otonomi daerah, apa yang kita hadapi hari ini menunjukkan satu hal, Indonesia membutuhkan kategori baru dalam penanggulangan bencana, kategori “bencana regional”. Kekosongan aturan ini membuat penanganan di lapangan tidak seefektif yang seharusnya.
Solidaritas Antarprovinsi Tetangga Lemah
Pulau Sumatera memiliki 10 provinsi. Tiga di antaranya terdampak langsung, sementara tujuh provinsi lain sebenarnya memiliki kemampuan dan sumber daya untuk membantu secara cepat. Begitu pula provinsi di Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi yang punya kapasitas logistik, peralatan, dan personel.
Namun, praktiknya, dukungan ini masih jauh dari optimal. Bantuan baru mengalir dari beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Padahal dalam situasi darurat, solidaritas antarprovinsi dalam satu pulau besar seharusnya bekerja otomatis—tanpa menunggu perintah panjang dan tanpa ketakutan berlebihan terhadap aturan administrasi.
Di sinilah letak persoalan besar itu: aturan yang ada tidak memberikan dasar yang cukup bagi daerah sebelah untuk bertindak cepat ketika bencana melintas beberapa provinsi sekaligus. Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi hingga Riau sesuai pepatah “kabar buruk barambauan” ternyata tak terjadi.






