Berita

Bencana Sumatera, Peta Risiko Diabaikan

5
×

Bencana Sumatera, Peta Risiko Diabaikan

Sebarkan artikel ini
sumatera

Bencana berulang di kawasan ini memperlihatkan adanya masalah struktural dalam penegakan hukum dan tata kelola ruang. Selama ini penanganan lebih banyak berfokus pada isu illegal logging, padahal akar persoalan jauh lebih kompleks. Ketiga provinsi membutuhkan pembaruan tata ruang yang berbasis risiko bencana, termasuk moratorium konversi hutan di DAS prioritas, penguatan aturan daerah sempadan sungai, dan pelarangan pembangunan di zona merah banjir serta lereng berisiko tinggi. Tanpa penataan ulang ini, tingkat paparan masyarakat akan tetap tinggi.

Selain aspek tata ruang, pengelolaan DAS lintas provinsi juga harus dibenahi. Kerusakan hulu yang terjadi di satu wilayah berdampak langsung pada hilir di provinsi lain. Karena itu, perlu ada badan otorita DAS yang mampu bekerja lintas administrasi dan lintas sektor.

“Pendekatan pembangunan perlu mulai mengadopsi nature-based solutions, seperti restorasi hutan hulu, pembangunan check dams untuk menahan sedimen, serta pengembangan agroforestry berbasis komunitas sebagai alternatif ekonomi yang berkelanjutan,” tuturnya.

Di sisi lain, sistem peringatan dini banjir dan longsor (EWS) yang sesungguhnya telah beroperasi di beberapa titik nyatanya tidak mampu bekerja optimal. Keterbatasan jumlah sensor di daerah hulu, kerapuhan jaringan komunikasi saat cuaca ekstrem, serta minimnya sosialisasi rencana evakuasi membuat banyak peringatan tidak diikuti dengan tindakan. Ambang batas peringatan juga sering tidak sesuai dengan kondisi lokal, menyebabkan masyarakat ragu menerapkan instruksi evakuasi ketika peringatan dikeluarkan.

Untuk itu, penguatan EWS menjadi prioritas yang tidak dapat ditunda. Pemerintah perlu memperluas jangkauan sensor, memperbaiki rute komunikasi multikanal, serta memastikan setiap desa memiliki prosedur evakuasi yang dipahami dan dilatih secara berkala.