Padang, hantaran.Co–Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkapkan bahwa pembalakan liar merupakan biang keladi bencana galodo dan tanah longsor yang melanda sejumlah daerah di Sumatera Barat (Sumbar) sepanjang pekan lalu.
Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar, Tommy Adam menegaskan, pemerintah tidak dapat lagi bersembunyi di balik narasi “kayu tumbang alami” dalam bencana galodo yang menghantam Kota Padang dan sejumlah daerah lain.
Temuan berbasis citra satelit Maxar 2021–2025 mengungkap bukti telak. Penebangan hutan secara masif dan sistematis ternyata telah berlangsung selama bertahun-tahun di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Aia Dingin, tepat di jantung daerah tangkapan air utama Kota Padang.
“Pernyataan pemerintah bertentangan dengan bukti ilmiah yang tidak bisa dibantah. Ini bukan sekadar tumbangnya pohon karena hujan ekstrem. Ini hasil dari pembiaran, lemahnya pengawasan, dan kesalahan tata kelola sumber daya alam (SDA),” ujar Tommy Adam kepada Haluan, Minggu (30/11/2025).
Ia menyebut, apa yang tidak terlihat oleh pemerintah, terlihat jelas oleh satelit. Menurut Walhi, citra Maxar menunjukkan puluhan titik pembukaan lahan, jalan illegal logging yang memotong kawasan konservasi, hingga tumpukan kayu seperti stockpile semuanya muncul jauh sebelum galodo meluluhkanlantahkan kawasan Lubuk Minturun, Limau Manis, Pasar Baru, dan sekitarnya.
“Ini bukan aktivitas spontan, bukan dampak bencana. Ini pembalakan yang terencana dan dibiarkan terus terjadi. Polanya jelas. Hulu ditebang, lalu kayu hanyut dan menjadi material menggulung ke hilir dan menumpuk di pantai seperti hari ini,” tuturnya.
Dalam overlay antara citra Maxar dan Peta Kawasan Hutan Sumbar, terlihat titik pembalakan berada di Suaka Margasatwa Bukit Barisan, hutan lindung, serta APL yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. “Ada jalan logging yang membuka akses ke wilayah yang seharusnya dijaga ketat. Ini bukan peristiwa alam. Tapi ini adalah kejahatan ekologis,” katanya.
Pada citra 27 Juli 2025, Walhi melaporkan terdapat puluhan titik penebangan aktif, tumpukan kayu siap angkut, dan kerusakan hutan yang terus meluas.
“Jika pemerintah masih mengatakan kayu gelondongan itu ‘kayu tumbang alami’, maka itu penghinaan terhadap akal sehat publik. Bukti satelit independen beresolusi tinggi menunjukkan fakta yang berlawanan,” ucapnya.
Tommy menegaskan bahwa galodo berulang di Sumbar bukan peristiwa alam semata, tetapi buah dari keputusan politik dan pembiaran panjang. “Bencana ini lahir dari bukit yang digunduli, dari kawasan konservasi yang dipreteli, dari negara yang membiarkan jalan logging membuka luka pada hulu DAS. Ini bukan musibah biasa, ini bencana ekologis yang dipicu oleh kelalaian pemerintah,” katanya.
Ribuan Hektare Hutan Primer Hilang
Analisis Walhi menunjukkan bahwa dalam periode 2001–2024, Sumbar kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap dan total 740 ribu hektare tutupan pohon, termasuk 32 ribu hektare deforestasi sepanjang 2024.
Kondisi serupa terjadi di Kota Padang, yang kehilangan 3.400 hektare tutupan hutan dalam dua dekade terakhir. Kerusakan paling berat berada di kawasan hulu DAS yang menjadi penopang ekologis Kota Padang .
Pada wilayah DAS Aia Dingin—salah satu DAS utama kota—terjadi kehilangan 780 hektare tutupan pohon, yang berdampak langsung pada meningkatnya erosi dan potensi banjir bandang. Ribuan rumah di sepanjang DAS Aia Dingin dan DAS Kuranji terendam banjir dengan kerusakan parah pada fasilitas umum dan rumah warga.
Fenomena hanyutnya tunggul kayu yang ditemukan di sungai-sungai besar setelah banjir dianggap sebagai bukti visual eksploitasi hutan yang masih berlangsung. “Semua kajian mitigasi bencana sudah tersedia, tetapi tidak pernah diterapkan dengan sungguh-sungguh. Ini bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola risiko bencana,” ujar Tommy.
Dalam hal ini, Walhi menilai pemerintah telah melanggar hak dasar warga negara, termasuk hak hidup, hak atas lingkungan sehat, dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Kebijakan tata ruang dinilai mengabaikan keseimbangan ekologis, bertentangan dengan UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ribuan rumah rusak dan warga mengungsi tanpa perlindungan memadai. Anak dan perempuan terdampak paling berat. Ini bukan sekadar kegagalan administratif, tetapi kegagalan negara melindungi rakyatnya,” ujarnya .
Walhi mendesak Pemprov Sumbar mengambil langkah struktural dan segera, antara lain audit lingkungan menyeluruh, penghentian alih fungsi ruang dan penebangan hutan di kawasan hulu, pemulihan tutupan hutan,implementasi kajian risiko bencana yang sudah tersedia, serta penindakan tegas terhadap pelaku tambang ilegal, illegal logging, dan pembangunan di zona berisiko tinggi.
“Keselamatan rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan komersial jangka pendek,” tutur Tommy







