Tahun ini tepat seabad terbitnya brosur Naar de Republiek Indonesia Tan Malaka. Sejumlah pihak mengapresiasi momen historis itu dengan mempublikasi ulang dan membedah kembali rangkuman pemikiran Tan Malaka, yang secara harfiah berarti “Menuju Republik Indonesia”.
Tan Malaka menulis buku ini pada tahun 1925 di Canton, Cina, saat ia dalam pelarian karena menjadi buronan pemerintah Hindia Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Pada saat itu, Tan Malaka juga menjalankan tugas sebagai utusan Komintern (Komunisme Internasional) untuk kawasan Asia Tenggara.
Karya ini dianggap sebagai salah satu dokumen penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, sekalipun kelak rezim Orde Baru menganggapnya sebagai bacaan terlarang. Pemikiran Tan dalam buku ini terbilang sangat maju untuk zamannya. Ketika pada umumnya para tokoh dan organisasi pergerakan masih berpikir tentang pendidikan, kesadaran nasional dan persatuan, Tan Malaka sudah keluar dengan rancangan dasar bernegara.
Sebagai orang pertama yang menulis secara komprehensif tentang Republik Indonesia, Tan Malaka kemudian dijuluki oleh Muhammad Yamin sebagai “Bapak Republik Indonesia.” Gagasan-gagasan dalam brosur ini ditenggarai memengaruhi lebih lanjut gagasan dan gerakan menuntut kemerdekaan.
Tiga tahun setelahnya, tahun 1928, sekelompok pemuda, termasuk Yamin, mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Pada tahun itu, Mohammad Hatta juga menulis Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Soekarno pada tahun 1930 menulis Indonesia Menggugat dan tiga tahun berikutnya Menuju Indonesia Merdeka.
Republik Versi Tan
Kalau disimak, pemikiran Tan Malaka tentang wujud negara Indonesia yang akan didirikan (pasca-imperialisme) untuk sebagian sebenarnya sudah tergambar dalam bukunya yang berjudul Parlemen atau Soviet. Buku ini ditulis dan dipublikasi Tan Malaka di Semarang pada Oktober 1921.
Dalam karyanya ini, Tan Malaka menuliskan ketidaksetujuannya jika Indonesia menerapkan prinsip trias politica seperti di negara Barat. Menurutnya, sistem itu akan membawa negara ke dalam kondisi pertentangan konstan antar cabang-cabang kekuasaan yang ada. Tidak hanya itu, dalam kondisi tertentu, parlemen juga hanya akan menjadi “perkakas saja dari yang memerintah”.
Dalam konteks itulah Tan Malaka mendambakan adanya “soviet,” yang bermakna dewan pemerintahan, sebagai organisasi politik tunggal dengan partai politik tunggal, seperti (baru saja saat itu) diterapkan di Uni Soviet atau kelak di China dan Vietnam. Dari sini jelas bahwa negara dan corak pemerintahan yang diidamkan Tan Malaka tak hanya berbeda dengan corak negara yang kemudian digagas sejumlah tokoh pergerakan nasional lainnya, tetapi juga tidak sama dengan negara (hasil) Proklamasi 1945.
Selanjutnya, dalam buku Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka berpikir lebih jauh lagi tentang wujud negara yang akan dibentuk, sekalipun pemikiran tentang corak negara tanpa melalui jalan parlemen kembali dipertegas. Brosur ini tak hanya menjadi semacam rancangan dasar bernegara versi Tan Malaka, dalam aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, militer, dan polisi, tetapi juga panduan bagi (pelaksanaan) revolusi Indonesia, mulai dari perjuangan menghapus kolonialisme dan imperialisme sampai upaya-upaya menggulingkan kapitalisme dari negeri ini.
Menurut Tan Malaka, pada saat itu, partai-partai yang ada, termasuk Budi Oetomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam, belum memiliki rumusan tuntutan ekonomi dan politik, meskipun mereka memegang satu kata: kemerdekaan. Tan bahkan juga menyorot PKI. Partai proletar ini sejauh itu belum dapat mengorganisasikan apa yang sebenarnya ingin dicapainya.
Termasuk ketika kelak imperialisme berhasil dienyahkan. Padahal, “setiap gerakan revolusioner yang tidak memiliki landasan teori yang jelas dan tujuan atau program revolusioner yang terorganisir dengan baik, tidak akan berhasil dan (bahkan) akan menjadi alat kapitalisme”.
Tan Malaka juga menyadari kecilnya jumlah kaum proletar di Indonesia untuk tujuan melakukan revolusi. Ia berpikir, dukungan golongan non-proletar lain, seperti pedagang kecil dan petani kecil, sangat penting. Kerja sama proletar dan nonproletar dalam suatu permusyawaratan nasional sebagai organisasi tunggal menjadi kunci untuk keberhasilan revolusi, sekalipun dia mengakui kadar revolusioner kaum nonproletar masih bersifat parsial, yakni hanya untuk menumbangkan imperialisme saja. Masalah kepemilikan yang menjadi dasar kehidupan kaum non proletar menjadi kendala ketika perjuangan dilanjutkan untuk menghancurkan kapitalisme demi mewujudkan “masyarakat tanpa kelas”.
Sejumlah penulis yang menelaah pemikiran Tan Malaka menyebut pemikiran politik tokoh asal Suliki, Sumatera Barat itu merupakan pemikiran yang orisinil. Seorang pejuang revolusioner yang idealis atau “Revolusioner yang Kesepian” (Alfian, 1978). Namun yang perlu dipahami, Tan melontarkan pemikirannya tentu sesuai pula dengan konteks zamannya, ketika mula terjadi pertentangan ideologi yang keras antara komunisme dan kapitalisme menyusul keberhasilan Revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917.
Selain itu, yang juga perlu dipahami, gagasan dan pemikiran Tan Malaka belum sempat didialektikakan dengan pemikiran-pemikiran para pejuang kemerdekaan yang lain, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam pelarian dan persembunyian dari kejaran polisi negara-negara kolonial, terutama Belanda. Kalaulah sempat didialektikakan dengan pemikiran dari tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, bisa jadi Tan Malaka akan memiliki cara pandang yang adaptif dengan realitas perjuangan pada masa itu. (*)
Oleh:
Israr Iskandar
Dosen Sejarah Universitas Andalas







