rekrutmen
Feature

Duka Dari Salareh Aia, Galodo Datang Sehabis Ashar, Bumi Seperti Diguncang

0
×

Duka Dari Salareh Aia, Galodo Datang Sehabis Ashar, Bumi Seperti Diguncang

Sebarkan artikel ini
salareh

Aroma lumpur bercampur bau anyir langsung menyergap begitu kami menapakkan kaki di Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Sabtu (28/11/2025). Bau yang tak mudah dijelaskan, tajam, menyayat seolah membawa kabar duka dari balik timbunan tanah. Hari belum sepenuhnya sore, tetapi suasana di lokasi galodo itu terasa kelam dan berat.

Laporan: Depitriadi

WARTAWAN AGAM

Di sepanjang jalan di Nagari Salareh Aia, puing-puing rumah berserakan tanpa bentuk. Ada dinding yang tinggal separuh, ada atap yang terpelanting jauh ke tengah sawah, ada pula kasur anak-anak yang terjebak di antara ranting dan bongkahan batu besar. Semua itu menyusun mozaik kepedihan yang menyelimuti warga.

Suara langkah kaki relawan dan aparat terdengar tumpang tindih, sesekali diselingi panggilan untuk mencari anggota keluarga yang belum ditemukan. Namun lebih sering, yang terdengar hanyalah bisu, hening yang menyesakkan.

Saat menyusuri area Subarang Aia, tempat yang cukup parah dihantam galodo, saya menghentikan langkah. Ada sesuatu di udara yang menusuk, bau jenazah yang tertimbun lumpur. Bau itu datang dari arah sungai yang kini berubah menjadi hamparan lumpur pekat dan berseret.

Di seberang sana, puluhan rumah tak lagi berdiri. Fondasinya terkupas, sebagian hanyut, sebagian lagi runtuh bersama aliran deras material yang datang dari hulu. Warga berdiri memandangi puing-puing tanpa kata, seperti masih tak percaya apa yang menimpa mereka.

Di tengah situasi itu, kami mendekati seorang pria paruh baya. Namanya Ridwan, warga Subarang Aia. Wajahnya lelah, namun ia berusaha tenang saat menceritakan ulang detik-detik bencana. “Galodo tu datang sehabis ashar,” ujarnya pelan.

Suaranya serak, seperti tercekik kenangan yang terlalu berat untuk diulang. “Awalnya kami dengar bunyi gemuruh. Seperti bumi diguncang,” ucapnya.

Ia menunjuk arah sungai di belakang rumahnya. “Ndak lamo, material galodo itu naik tinggi. Air bercampur lumpur,” ucapnya lirih.

Ridwan bercerita bahwa air dan lumpur naik begitu cepat. Ia melihat sendiri bagaimana arus membawa batang kayu besar, batu, hingga pusaran lumpur yang menghantam jembatan penghubung Subarang Aia dan Batu Kambing.

Jambatan tu putuih. Akses langsung hilang,” katanya sambil menarik napas berat. “Padahal di belakang rumah kami masih banyak perumahan.”

Ridwan bersyukur rumahnya yang berada di dataran lebih tinggi masih selamat. “Alhamdulillah kami sekeluarga ndak apo-apo. Tapi 300 meter ke bawah, hancur. Banyak rumah disapu (galodo),” ujarnya.

Di lokasi yang sama, saya juga bertemu dengan tokoh masyarakat Salareh Aia, S. Dt. Bandaro Batuah. Ia berdiri menatap reruntuhan jembatan yang putus seolah merekam ulang ingatan yang tidak ia minta.

Ia memperkirakan jumlah korban jauh lebih besar dari laporan awal. “Kami duga ada sekitar 150 orang yang dibawa arus material galodo itu. Harapan kami, semuanya bisa ditemukan,” katanya.

Tak jauh dari sana, persisnya di depan SD 07 Koto Alam, seorang pria yang berada di bak mobil pick up menghapus air mata tanpa malu. Namanya Emrizal, warga Kampung Tangah Salareh Aia. Dada lelaki itu naik turun seolah menahan badai yang bergemuruh di dalam dirinya.

“Saya kehilangan adik kandung, kemudian keponakan adik saya itu, dan dua cucu adik saya itu,” katanya.

Kalimat itu keluar pelan namun menusuk, berat untuk didengar, apalagi untuk ia ucapkan. Saat kejadian, ia sedang memberi makan ternaknya. Ia melihat air besar mulai turun dari arah hulu.

Beberapa saat kemudian, air mulai surut, dan ia mencoba menyeberang untuk pulang. Namun pemandangan yang ia temukan membuat lututnya lemas. “Keluarga inti saya selamat, tapi adik saya hilang. Sampai kini tidak tahu di mana,” ucapnya.

Di pusat lokasi bencana, saya bertemu Bhabinsa Salareh Aia, Serka Ridwan Alamsyah. Pakaian dinasnya masih berlumur lumpur. Ia seperti belum tidur sejak bencana terjadi. “Daerah yang terparah itu Salareh Aia dan Salareh Aia Timur. Waktu kejadian, saya langsung turun ke lokasi. Kampung ini porak-poranda,” ujarnya.

Malam itu ia tak bisa mengevakuasi korban karena gelap total. Listrik mati, hujan menyisakan langit kelam. “Kami hanya bisa menunggu pagi,” katanya.

Keesokan harinya, ia memimpin masyarakat melakukan evakuasi. “Awalnya warga tidak berani. Baru ketika kami turun, mereka mulai ikut mengangkat jenazah,” ucapnya lagi.

Dengan suara berat ia menambahkan, “Kami menemukan delapan jenazah. Dari anak kecil, yang tidak bisa diidentifikasi, sampai potongan tubuh,” ucapnya lirih.

Melihat luasnya dampak galodo, ia memperkirakan ratusan warga masih tertimbun. “Bisa jadi lebih dari 300 orang,” tuturnya.

Siang itu, kami ke lokasi bencana bersama rombongan pemerintah daerah. Bupati Agam, Benni Warlis meninjau lokasi bersama Forkopimda. Ia tampak serius mendengar laporan masyarakat.

“Prioritas pertama adalah pencarian korban. Kita harus menemukan yang masih tertimbun atau terbawa arus,” ujarnya.

Selain itu, ia menegaskan penanganan medis bagi warga luka menjadi fokus berikutnya. “Baik luka ringan maupun berat, semua harus mendapat perawatan cepat,” ucapnya.

Ia menyebut telah didirikan lima dapur umum di lokasi bencana. “Kami pastikan makanan dan air bersih tersedia. Kebutuhan warga terdampak tidak boleh terhenti,” ujarnya.

Bersama bupati, tampak pula Ketua DPRD Agam, Ilham, Lc, MA. Ia berdialog dengan warga sambil memastikan bantuan terus berdatangan. “Para pengungsi diharapkan bersabar. Kami sudah meminta bantuan dari provinsi dan pusat, untuk bersama-sama melakukan recovery,” katanya.

Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama melakukan pemulihan. “Musibah sebesar ini butuh kebersamaan. Kita juga lakukan trauma healing. Banyak anak kehilangan orang tua, banyak orang tua kehilangan anak,” kata Ilham.

Ketika matahari mulai turun, suasana di Salareh Aia tetap muram. Di antara puing rumah dan pohon rebah, warga duduk saling menopang. Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kehilangan sebesar ini.

Namun di balik duka itu, ada semangat yang perlahan tumbuh. Setiap sekop lumpur yang diangkat, setiap tubuh yang ditemukan, setiap tetes air mata yang jatuh, semuanya menjadi bagian dari tekad untuk bangkit. (*)