rekrutmen
Opini

Sumbang Karajo Dalam Perspektif ABS-SBK

0
×

Sumbang Karajo Dalam Perspektif ABS-SBK

Sebarkan artikel ini
ABS-SBK

‘Semakin Disikat, Semakin Banyak Muncul’ merupakan salah satu tulisan yang dimuat  koran Padang Ekspres tanggal 23 November 2025. Inti dari berita itu adalah semakin banyaknya bermunculan kafe-kafe karaoke di berbagai sudut kota Padang, meskipun pihak-pihak terkait sudah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penertiban. Tetapi fakta di lapangan masih banyak ditemui kafe-kafe karaoke yang bermunculan. Bagi orang Minangkabau, fenomena ini seperti “arang yang tercoreng dikening”, karena mereka dikenal sebagai masyarakat yang berlandaskan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” (ABS-SBK) dalam kehidupannya, tetapi masih menyediakan tempat bagi kafe-kafe karaoke.

Fakta itu tentu saja memunculkan tanggapan dari berbagai pihak yang merasa khawatir dengan penyakit masyarakat yang satu ini. Misalnya dari salah seorang pemangku agama dan akademis, yakni Guru Besar Fakultas Dakwah UIN Imam Bonjol Padang,  Prof. Awis Karni mengatakan bahwa fenomena tersebut bentuk kemunduran nilai moral dan budaya di Ranah Minang. Apa yang dikatakan beliau itu ada benarnya, tetapi lebih tegasnya telah mulai roboh nilai moral dan budaya Minangkabau itu di negerinya sendiri. Sebagaimana robohnya surau dalam cerpennya A.A. Navis  “Robohnya Surau Kami”. Persoalan ini tidak dapat dilihat secara sepotong-sepotong, tetapi harus dilihat secara menyeluruh serta dicari akar masalahnya agar dapat dicarikan solusinya serta faktor yang menjadi pemicu munculnya masalah tersebut, seperti kata petuah “maminteh ka hulu, mangaja ka balakang” merupakan pedoman yang dapat dijadikan sebagai sumber utama yang dapat dipertanggungjawabkan.  

Jika dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat Minangkabau hari ini, maka ada sesuatu yang hilang dalam tatanan hidup berkeluarga, berkaum dan bernagari. Misalnya petuah “Minangkabau bapaga hiduik” sudah mulai beralih pada pola kehidupan yang bersifat individualisme. Orang lebih suka bersikap seperti ‘tuo tungku’ dalam hidup bermasyarakat. Sifat individualisme terhadap lingkungan semakin menjamur dalam berbagai aspek kehidupan. Di tambah lagi dengan kondisi perekonomian yang semakin hari semakin sulit, Desakan ekonomi yang tidak dapat diajak kompromi menjadi motivasi bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan aturan adat dan agama. .

Kondisi ini menyebabkan kafe-kafe karaoke dan tempat  hiburan malam lainnya tidak luput dari sasaran para pencari kerja, termasuk kaum perempuan. Jika inok manuangkan fenomena ini bukan semata-mata kesalahan perempuan. Tetapi kaum laki-laki juga punya andil dan harus bertanggung jawab atas kejadian itu. Analoginya kafe-kafe karaoke dan tempat hiburan malam itu adalah pabrik yang memproduksi suatu produk untuk dipasarkan. Jika produk itu tidak terjual dipasaran, maka secara otomatis akan berimbas pada produksi berikutnya. Artinya tempat itu akan bangkrut, bahkan akan tutup sendiri jika tidak dikunjungi laki-laki. Logika ini harus ditanamkan, jika ingin membebaskan Ranah Minang dari tempat-tempat maksiat tersebut.

Jika ditelusuri kembali, bahwa ada faktor krusial yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni habisnya jaminan sosial dalam keluarga. Jaminan sosial yang dimaksudkan adalah harta pusaka keluarga atau kaum yang secara perlahan-lahan sudah tergadai, bahkan sudah habis terjual. Pada hal harta pusaka itu adalah aset keluarga yang berorientasi nilai ekonomi. Ia merupakan tempat mengadu bagi keluarga yang membutuhkan.  Sementara itu, peran mamak kepala waris untuk mempertahankan harta pusaka itu hanya tinggal nama, bahkan dia yang lebih agresif untuk menggadai dan menjualnya. Perbuatan semacam ini bukan lagi menjadi rahasia umum, bahwa para mamak kepala waris juga ikut bertanggung jawab atas maraknya kafe-kafe karaoke, karena anak-kemenakan tidak ada lagi tempat batenggang. Disebabkan harta pusaka yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan ekonomi anak-kemenakan sudah berpindah ke tangan orang lain.

Pada hal jauh-jauh hari sudah diingatkan dalam petuah adat bahwa status harta pusaka itu adalah ‘jua tak dimakan bali, gadai tak dimakan sando’. Artinya harta pusaka itu tidak boleh dijual, bahkan kalau digadaikan sekalipun ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi, dan disepakati pula secara bersama. Di pihak lain, dubalang sudah berubah menjadi ’kuniang dek kunik, lamak dek santan, kayo dek ameh’ dalam menghadapi kenyataan itu. Katanya tidak lagi ‘mandareh’ ketika berhadapan dengan kafe-kafe karaoke dan tempat hiburan malam. Dia sudah terbawa arus karena ‘lah tamakan juo’ dari pihak pengelola tempat-tempat tersebut.

Mengenai kepunahan harta pusaka di Minangkabau Dobbin (1974) sudah mensinyalir bahwa akan muncul keluarga miskin baru ketika harta pusaka mereka sudah berpindah tangan. Apa yang dikatakan Dobbin itu sudah  menjadi kenyataan dengan munculnya keluarga-keluarga miskin baru di Minangkabau disebabkan sumber perekonomian mereka dalam kaum sudah terjual. Dampaknya dalam keluarga adalah mamak kehilangan marwah untuk melarang anak-kemenakannya ketika terjerumus dalam pekerjaan yang melanggar falsafah ABS-SBK,

Kembali ke judul di atas, yakni mengenai sumbang karajo. Sumbang karajo merupakan bagian dari sumbang dua baleh. Dalam praktiknya sumbang dua baleh itu hanya ditujukan pada perempuan Minangkabau dalam aktifitasnya sehari-hari. Tujuannya agar mereka dapat beraktivitas sesuai dengan falsafah ABS-SBK. Dalam petuah-petuah adat, kerja perempuan Minangkabau itu hanya menyulam dan menjahit. Namun sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, maka perempuan juga ingin bekerja sesuai dengan kodratnya. Lagi pula bekerja juga diperintahkan Allah, sebagimana firman-Nya dalam surat At-Taubah ayat 105 yang artinya ‘Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga RasulNya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan kembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’. Begitulah Al-Qur’an menerangkan tentang perintah bekerja yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh orang-orang beriman dalam menjalani kehidupannya.

Dalam ayat itu juga ada sinyal untuk melakukan perkerjaan yang baik-baik, karena setiap pekerjaan yang dilandaskan dengan kebaikan akan mendatang rezeki yang halal.   Sebagaimana firman-Nya dalam surat  Al-Baqarah ayat 172 yang artinya ‘Wahai orang-orang yang beriman ! Makanlah dari rezki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu menyembah kepadaNya’.  Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa mencari rezki yang baik itu adalah perintah agama, dan tidak boleh dilanggar, karena konsekuensi dari pelanggaran adalah perbuatan dosa. Oleh sebab itu, halalnya rezeki juga tergantung dari tempat perkerjaan tersebut. Apabila tempatnya penuh dengan perbuatan maksiat, maka akan mempengaruhi kehalalan rezeki tersebut. Karena Allah melarang mencampuradukkan antara hak dengan yang batil.  

Berdasakan keterangan di atas dapat dikatakan bahwa sesuatu yang diperoleh di tempat yang baik, maka hasilnya juga baik. Sebaliknya, sesuatu yang diperoleh di tempat yang tidak baik, maka hasilnya juga tidak baik. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan apabila penghasilan yang diperoleh dari kafe-kafe karaoke dan tempat-tempat hiburan malam termasuk ke dalam penghasilan yang baik. Karena cara memperolehnya baik, tetapi tempatnya tidak baik, sehingga hasilnya tetap tidak baik. Amin!

Oleh; Muchlis Awwali Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand