rekrutmen
Opini

Budaya Anti-Kekerasan Seksual

0
×

Budaya Anti-Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
kekerasan

Kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Kekerasan seksual tanpa mengenal waktu dan tempat. Bahkan terjadi lintas batas dalam dunia maya. Kekerasan seksual dengan varian jenis dan bentuknya. Kekerasan seksual mulai masuk dunia kampus. Kampus terkadang dikejutkan dengan berita buruk. Baik berita di tengah masyarakat maupun melalui media sosial. Ledakan berita yang demikian tentu tak bisa dibiarkan. Bukan beritanya yang dihentikan, tetapi bagaimana kampus hadir dan menciptakan suasana kondusif. Suasana kondusif dalam menciptakan budaya anti-kekerasan.

Membangun budaya anti-kekerasan seksual memang tidak mudah. Perlu ada cue yang kuat untuk mengikatnya. Perlu ada norma dan perangkat aturan yang mendukung. Perlu ada kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus dan institusi vertikalnya. Saya meminjam teori yang cukup populer. Teori tentang Atomic Habit. Teori yang digagas oleh James Clear. Teori yang dikemas dalam sebuah karya monumentalnya. Karya ini menapaki high rating atau disebutnya dengan bestseller. Tentu sebuah buku tak akan menjadi bestseller jika buku tersebut tidak relevan dan relate dengan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat butuh ketenangan. Masyarakat butuh kesejukan. Masyarakat butuh kedamaian. Kedamaian hidup bukan saja karena terpenuhinya kebutuhan ekonomi, tetapi juga terpenuhinya ketenangan batin. Ketenangan batin terejawantah dalam banyak instrumen. Salah satu di antaranya adalah instrumen yang menunjukkan kebahagiaan tanpa tekanan. Entah terkait dengan tekanan fisik maupun psikis. Kekerasan seksual merupakan indikator yang banyak menampilkan tekanan psikis. Tekanan psikis yang dominan dan fenomenal di kalangan masyarakat.

Fenomena kekerasan masih menjadi masalah sosial di berbagai ruang kehidupan, termasuk di lingkungan kampus. Kekerasan seringkali lahir dari budaya permisif terhadap agresivitas, lemahnya empati, serta minimnya mekanisme pengendalian sosial yang humanis. Oleh karena itu, membangun budaya anti kekerasan menjadi keniscayaan bagi masyarakat modern yang beradab, namun perubahan budaya bukanlah proses instan.

Budaya merupakan akumulasi dari kebiasaan yang terulang dan terlembagakan dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, teori Atomic Habit menawarkan pendekatan praktis namun mendalam dalam mengubah perilaku melalui pembentukan kebiasaan kecil yang konsisten. Kajian ini bertujuan menganalisis bagaimana prinsip-prinsip Atomic Habit dapat digunakan sebagai kerangka dalam membangun budaya anti kekerasan yang berkelanjutan.

Budaya anti kekerasan dapat dipahami sebagai sistem sosial yang mendorong individu dan kelompok untuk menolak tindakan agresif serta mengutamakan empati, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Budaya anti kekerasan bukanlah hasil dari kampanye sesaat, tetapi dari proses pembiasaan yang berkelanjutan pada setiap individu yang kemudian membentuk identitas kolektif.

Budaya anti-kekerasan tidak dapat dibangun secara instan melalui kebijakan semata. Ia memerlukan kampanye moral dan pembiasaan yang terstruktur, konsisten, dan menyentuh level perilaku sehari-hari. Pendekatan James Clear memberikan kerangka yang aplikatif untuk mencapai hal tersebut. Dengan memulai dari kebiasaan kecil, menciptakan lingkungan yang mendukung, serta memberikan penguatan positif, individu dan masyarakat dapat membangun sistem sosial yang berakar pada nilai damai dan steril dari tekanan psikis.

Membangun Budaya Anti-Kekerasan

Tekanan psikis-traumatik sangat sulit disembuhkan. Penyembuhannya butuh waktu panjang. Berbagai cara harus dilakukan. Pendampingan melalui teman sejawat hingga tim psikolog. Fenomena kekerasan seksual telah menjadi perhatian pemerintah. Salah satu di antaranya adalah Kementerian Agama RI. Kemenag melalui KMA Nomor 73 Tahun 2022 menunjukkan perhatian besar untuk mengatasi kekerasan seksual. KMA tersebut secara khusus mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama.

Aturan KMA bukan aturan opsional, melainkan aturan yang mengikat. Mengikat seluruh ASN pada satuan pendidikan, dan jika di perguruan tinggi adalah seluruh sivitas akademika. Mulai dari unsur dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswanya. Aturan yang demikian, menurut James Clear, merupakan cue yang semula dianggap berat. Setiap aturan baru kerap dipandang sesuatu yang berat. Berat untuk dilakukan. Apa pun yang terasa berat, bila dilakukan secara terus-menerus, akan menjadi ringan, bahkan menjadi habit (terbiasa).

Dari terbiasa menjadi budaya. Budaya anti-kekerasan seksual. Budaya yang didambakan oleh banyak kampus dan seluruh sivitas. Budaya yang menciptakan kampus sebagai rumah kedua. Ada beberapa elemen budaya untuk menangkal kekerasan seksual, antara lain; budaya menghormati batas, budaya speak-up, budaya pendidikan seksual, budaya kesetaraan dan anti-patriarki, budaya kepedulian dan solidaritas, dan budaya bertanggung jawab.

Budaya menghormati batas mengajarkan sejak dini bahwa tubuh setiap orang adalah miliknya sendiri, tidak membenarkan tindakan dengan alasan “hanya bercanda” atau “dia tidak menolak.” Candaan apa pun yang jika menyentuh privasi orang lain tergolong sebagai kekerasan seksual. Orang berbicara harus mengenal lawan bicara agar candaan tak menyentuh batas privasi orang lain. Saat sudah masuk ke ranah privasi dan dipandang telah merambah wilayah kekerasan seksual, maka speak-up merupakan suatu keniscayaan.

Budaya speak-up mencakup upaya mendorong korban dan saksi untuk berani bersuara tanpa takut disalahkan atau dipermalukan. Dalam konteks ini dibutuhkan sistem sosial dan instrumen yang mendukung pelaporan dan perlindungan korban. Ada pusat aduan yang menjamin kerahasiaan korban dan menggaransi penghapusan stigma terhadap korban. Kedua penjaminan tersebut diyakinkan kepada civitas melalui kebijakan tertulis baik dalam bentuk keputusan maupun peraturan. Tak cukup hanya speak-up jika tidak diikuti dengan penciptaan budaya pendidikan seksual.

Budaya pendidikan seksual kerap dianggap tabu. Budaya yang seakan tak mungkin dilakukan. Namun tetap perlu dilakukan untuk tujuan menangkal. Budaya ini mengajarkan sejak dini tentang tubuh, batas pribadi, relasi sehat, dan kesetaraan gender. Kampus mampu mendorong pemahaman bahwa seksualitas adalah bagian dari kemanusiaan, bukan sesuatu yang tabu. Jika aspek kemanusiaan diusung, maka akan tercipta budaya kesetaraan. Tak membedakan batas dan tak melanggar batas. Tak ada dominasi laki-laki di atas perempuan.

Budaya kesetaraan dan anti-patriarki menghapus norma sosial yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari yang lain. Menumbuhkan penghargaan terhadap peran dan suara perempuan serta kelompok rentan. Mengkritisi budaya macho, pelecehan “ringan”, dan objektivikasi tubuh. Kesetaraan yang anti-patriarki akan menciptakan kepedulian. Ada nilai kepedulian bahwa kita semua bertanggung jawab menjaga ruang aman. Kita dituntut untuk mengajarkan empati—tidak menonton, merekam, atau menyebarkan kekerasan.

Jika setiap orang telah memiliki kepedulian, maka ia akan terdorong untuk melakukan tindakan nyata jika melihat potensi kekerasan. Peduli sebagai bentuk tanggung jawab. Tanggung jawab harus menjadi budaya. Budaya tanggung jawab mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Tidak membenarkan kekerasan dengan alasan status sosial, jabatan, atau “kesalahan korban”. Menegakkan hukum dan etika secara konsisten tanpa pandang bulu.

Sebagai wujud tanggung jawab, maka kampus menerapkannya dalam beberapa bentuk, antara lain; 1) mengadakan pendidikan kesetaraan gender dan anti-kekerasan seksual; 2) memiliki kode etik dan saluran pelaporan yang aman; 3) media menggunakan bahasa yang tidak menyalahkan korban; 4) kampus mengadakan kampanye tentang relasi sehat; 5) pusat konseling melakukan kampanye dan pendampingan anti-kekerasan seksual; dan masih banyak program aksi lainnya. Semoga bermanfaat.

Oleh: Sirajul Arifin Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya