Jika diperhatikan secara historis dan komparatif, Sumatera Barat seolah terjebak dalam paradoks ekonomi yang menahun. Provinsi yang kaya akan “modal sosial” dan budaya ini justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang cenderung datar. Sumbar tidak mengalami krisis, tetapi juga tidak mampu berlari kencang. Stabil, tetapi tidak progresif. Terlihat hidup, tetapi kurang dinamis.
Banyak pihak kerap menyederhanakan persoalan dengan mengatakan kurangnya investasi atau minimnya industrialisasi sebagai akar perkara, padahal masalahnya jauh lebih kompleks dari itu, karena saling berkaitan satu dengan lainya, mulai dari politik lokal, tata kelola pemerintahan, pola fiskal, hingga karakter budaya yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat.
Untuk memahami stagnasi tersebut, kita harus melihat lebih dalam bagaimana politik lokal bekerja. Pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dinamika elite lebih sering memperlihatkan pola kompetisi antar-individu dan kelompok daripada upaya membangun konsensus untuk pembangunan jangka panjang.
Setiap pergantian kepala daerah membawa orientasi baru yang belum tentu berkesinambungan dengan rencana sebelumnya. Sampai hari ini, belum muncul satu pun proyek besar yang mampu mengikat seluruh kabupaten/kota dalam visi bersama. Tanpa kepemimpinan politik yang berani membangun kesepakatan lintas wilayah, Sumatera Barat bergerak dengan ritme yang terpecah, seperti fragmen-fragmen daerah yang saling berdiri sendiri.
Di sisi lain masalah tata kelola pemerintahan ikut memperlambat akselerasi pembangunan. Kapasitas birokrasi tidak merata. Ada daerah yang mampu menyusun perencanaan dengan kualitas baik, tetapi ada pula yang lemah dalam pengadaan barang dan jasa, pengawasan proyek, atau pengelolaan anggaran.
Di banyak daerah kualitas layanan pendidikan dan kesehatan belum mencapai standar yang dapat menopang produktivitas jangka panjang. Artinya, tanpa pemerintahan yang efisien dan responsif mustahil menarik investasi padat modal yang membutuhkan kepastian dan profesionalisme sebagai salah satu syarat utamanya.
Keterbatasan kapasitas tersebut diperparah oleh pola fiskal daerah yang sangat bergantung pada pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih kecil dan tidak tumbuh signifikan dari tahun ke tahun. Beban belanja pegawai terus menyita porsi terbesar dari APBD sehingga ruang untuk belanja modal semakin sempit.
Padahal belanja modal adalah jantung pembangunan yang sesungguhnya, terutama untuk infrastruktur logistik, pendidikan vokasi, dan proyek-proyek pemantik ekonomi riil. Ketika kemampuan fiskal daerah lemah, maka pembangunan jangka panjang pun mengandalkan bantuan pusat dan sifatnya reaktif bukan strategis.
Struktur ekonomi Sumatera Barat juga belum mengalami transformasi berarti. Pertanian masih menjadi sektor dominan, tetapi dengan produktivitas yang kurang tinggi. Hilirisasi pangan dan agroindustri yang seharusnya menjadi sumber nilai tambah belum berkembang secara baik. Komoditas khas seperti kopi, rempah, hortikultura, hingga produk ternak lebih banyak dijual dalam bentuk mentah.
Industri pengolahan yang bisa menyerap tenaga kerja terampil dan membuka pasar ekspor kurang berkembang dalam skala yang memadai. UMKM memang banyak, tetapi sebagian besar berskala mikro. Hampir semuanya terjebak pada pola usaha keluarga dengan akses pasar terbatas serta kemampuan manajerial dan teknologi yang belum mendukung untuk ekspansi masif. Tanpa perubahan struktur ekonomi, Sumbar akan tetap berada pada orbit sektor-sektor berproduktivitas rendah yang sulit mendorong lahirnya pertumbuhan tinggi.
Faktor kebudayaan juga membawa pengaruh besar. Tradisi merantau menciptakan jaringan global Minangkabau yang luar biasa tetapi sekaligus menyebabkan brain drain. Anak-anak muda terbaik cenderung membangun karier di luar daerah. Remittance memang membantu konsumsi rumah tangga, tetapi tidak serta merta menjadi modal produktif.
Banyak nagari terlihat hidup secara sosial, namun tidak tumbuh secara ekonomi. Pada saat yang sama, struktur kepemilikan tanah adat masih menyulitkan penggunaan lahan untuk proyek investasi berskala besar. Negosiasi dengan pemilik ulayat tentu dapat dan konon sering dilakukan, namun memerlukan proses panjang dan mengandung ketidakpastian yang tidak disukai dunia usaha.
Kendala geografis turut memperberat situasi. Bentang alam pegunungan membuat biaya logistik tinggi dan konektivitas tidak semudah daerah pesisir timur Sumatera atau Jawa. Pelabuhan dan bandara memang ada namun kapasitas, rute dagang, dan efisiensinya belum cukup untuk menarik industri besar maupun perdagangan ekspor yang stabil. Tanpa perbaikan infrastruktur secara serius, produk-produk unggulan Sumatera Barat akan selalu kalah bersaing dalam hal harga dan kecepatan distribusi.
Selain itu, kualitas sumber daya manusia yang dibanggakan selama ini juga tidak sepenuhnya selaras dengan kebutuhan ekonomi modern. Pendidikan vokasi dan pelatihan teknis belum berkembang pada skala yang memungkinkan terbentuknya tenaga kerja siap industri. Diaspora yang sukses di luar daerah jarang kembali bukan karena masalah emosional, tetapi karena ekosistem ekonomi di kampung halaman belum cukup menarik bagi profesional dan pengusaha muda.
Semua kondisi tersebut ternyata juga berada di tengah risiko bencana yang tinggi. Gempa, longsor, dan banjir merupakan ancaman permanen. Kerentanan ini meningkatkan biaya investasi dan menurunkan keberanian pelaku usaha untuk membangun aset jangka panjang. Pertanian pun menghadapi degradasi lahan dan tekanan perubahan iklim yang menurunkan produktivitas dalam jangka panjang.
Rangkaian persoalan di atas menunjukkan bahwa stagnasi ekonomi Sumatera Barat bukan masalah tunggal tetapi kombinasi struktural yang berlapis. Namun bukan berarti tidak ada jalan keluar. Justru kondisi ini menuntut terobosan kebijakan yang lebih berani dan strategis.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota perlu memulai pembaruan dari faktor paling mendasar, yaitu konsolidasi politik dan perencanaan lintas wilayah. Sumatera Barat membutuhkan satu kesepakatan pembangunan jangka panjang yang tidak berubah setiap lima tahun. Visi ini dapat diterjemahkan ke dalam dua atau tiga proyek pemantik yang akan mengikat seluruh wilayah misalnya pembangunan kawasan industri agro terintegrasi, penguatan pelabuhan ekspor, atau pengembangan koridor logistik pesisir dan dataran tinggi.
Tata kelola pemerintahan harus ditingkatkan melalui penguatan kapasitas perencana dan “manajer proyek”, memperluas digitalisasi layanan publik, serta menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja. Pemerintah daerah perlu meningkatkan porsi belanja modal secara bertahap minimal menuju 40 persenan APBD. Skema pembiayaan kreatif seperti kerja sama pemerintah dan swasta atau obligasi daerah dapat digunakan untuk membiayai proyek yang memiliki dampak ekonomi luas.
Dari sisi ekonomi, daerah harus berani mendorong hilirisasi pangan dan komoditas unggulan. Agroprocessing harus menjadi prioritas, karena sesuai dengan karakter wilayah dan memiliki efek multiplier besar. UMKM perlu didampingi secara serius, terutama dalam standar kualitas pengemasan sertifikasi halal dan strategi pemasaran digital. Pemerintah juga dapat membangun pusat “logistik dingin” di daerah produksi utama agar rantai pasok menjadi jauh lebih efisien.
Karakter merantau masyarakat Minang sebenarnya bisa menjadi modal besar jika dikelola dengan strategi yang tepat. Pemerintah dapat membentuk jaringan investasi diaspora yang memfasilitasi penyaluran modal ke usaha-usaha produktif di daerah. Pengusaha muda di rantau dapat dijadikan mentor atau investor bagi UMKM lokal melalui skema kolaboratif.
Tak lupa, dalam hemat saya, reformasi pengelolaan tanah ulayat merupakan langkah penting. Bukan dengan menghilangkan adat tetapi dengan memperjelas mekanisme kerja sama yang adil antara ninik mamak, masyarakat, dan investor. Pemerintah perlu menyediakan mediator profesional agar kesepakatan tanah bisa berjalan transparan dan cepat.
Pun infrastruktur logistik harus menjadi prioritas. Kualitas jalan provinsi, konektivitas antarkabupaten, serta efisiensi pelabuhan dan bandara harus diperbaiki. Akses internet berkecepatan tinggi di seluruh wilayah tidak bisa tidak harus dipercepat realisasinya jika Sumatera Barat ingin masuk ke ekonomi digital.
Pembangunan sumber daya manusia harus dirancang ulang dengan orientasi industri. Sekolah vokasi dan politeknik perlu diperkuat melalui kerja sama dengan dunia usaha. Sumatera Barat juga dapat membangun institusi unggulan di bidang kuliner dan industri kreatif yang sesuai dengan identitas Minangkabau tetapi berorientasi pasar global.
Yang tak kalah penting, pembangunan berkelanjutan dan mitigasi bencana harus menjadi fondasi seluruh kebijakan. Tidak ada pertumbuhan yang dapat bertahan apabila ancaman lingkungan tidak dikelola secara terukur dan sistematis.
Sumatera Barat memiliki seluruh potensi untuk tumbuh agresif. Yang dibutuhkan bukan sekadar proyek baru, tetapi keberanian untuk membenahi akar masalah struktural yang selama ini dibiarkan menggantung. Dengan arah baru yang lebih terencana, lebih kolaboratif, dan lebih berorientasi nilai tambah, Sumatera Barat bukan hanya bisa keluar dari stagnasi tetapi berpeluang menjadi salah satu motor ekonomi di Sumatera bagian tengah.
Oleh: Ronny P. Sasmita Peneliti Senior Tamu pada Center for Integrative and Development Studies University of Philippines







