Padang, hantaran.Co–Krisis hidrometeorologis yang kembali melanda sejumlah daerah di Sumatera Barat memantik perhatian serius Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumbar. Rangkaian banjir, longsor, dan limpasan mendadak yang terjadi belakangan ini dinilai bukan hanya sekadar akibat curah hujan tinggi, melainkan merupakan sinyal keras bahwa DAS di Sumbar berada di ambang kolaps.
Sekretaris Forum DAS Sumbar, Prof. Isril Berd mengatakan, kondisi sungai dan ruang alirannya berada pada titik paling rawan dalam satu dekade terakhir. “Kalau sungai kehilangan ruangnya, maka bencana akan mengambilnya kembali,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (25/11/2025).
Ia menyebut, penyempitan alur, hilangnya vegetasi penahan, dan tumbuhnya permukiman di zona sempadan menjadi kombinasi yang membuat Sumbar semakin rentan di tengah cuaca ekstrem. Menurutnya, pemerintah daerah (pemda) tidak bisa lagi mengandalkan respons tanggap darurat semata. “Kita sudah terlalu sering sibuk setelah bencana. Yang kita butuhkan sekarang adalah pencegahan berbasis DAS, bukan sekadar reaksi setelah luapan terjadi,” katanya.
Isril menjelaskan, Forum DAS Sumbar telah menyusun rekomendasi kebijakan menyeluruh untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Rekomendasi pertama adalah penataan ulang ruang sungai secara menyeluruh. Ia menegaskan pentingnya audit serius terhadap bantaran dan sempadan yang selama ini dipenuhi bangunan hingga menutup ruang aliran.
“Sungai itu bukan saluran yang boleh dipersempit seenaknya. Ia punya ruang alamiah. Dan ketika ruang itu direbut, ia akan mencari tempat lain untuk meluap dan itu biasanya permukiman,” katanya.
Selain penataan ruang, ia menekankan urgensi rehabilitasi vegetasi riparian dan lahan kritis secara terukur. Ia melihat upaya penghijauan yang dilakukan selama ini masih bersifat seremonial dan tidak menyentuh inti persoalan. “Kita butuh rehabilitasi yang benar-benar berdasarkan kebutuhan tiap DAS, bukan penanaman simbolis,” katanya.
Di samping itu, 17 DAS kritis di Sumbar harus menjadi prioritas utama untuk diperkuat melalui vegetasi penahan arus yang didesain sesuai karakter geografisnya.Rekomendasi berikutnya menyangkut pembentukan sistem peringatan dini berbasis DAS yang terhubung langsung antara hulu dan hilir. Bagaimanapun, informasi tinggi muka air yang terlambat beberapa menit saja dapat menentukan selamat atau tidaknya warga. “Informasi harus sampai ke nagari secepat mungkin. Tidak boleh lagi ada warga yang hanya tahu setelah rumah mereka diterjang air,” tuturnya.
Ia juga meminta pemerintah memastikan seluruh perizinan pembangunan, baik perumahan, perkebunan maupun pariwisata, melewati uji kelayakan tata air. Selama in, banyak proyek di Sumbar mengabaikan sisi hidrologi, sehingga memperbesar tekanan terhadap lingkungan. “Kalau pembangunan tidak sensitif terhadap tata air, maka itu sebenarnya sedang membangun masalah baru. Dan masalah itu akan jatuh ke masyarakat hilir,” kata Isril.
Pelibatan masyarakat juga menjadi fokus Forum DAS. Isril menjelaskan pentingnya membentuk kelompok penjaga DAS di tingkat nagari untuk melakukan pemantauan, perawatan vegetasi, pembersihan sumbatan, dan pelaporan dini. “Tidak ada DAS yang sehat tanpa masyarakat yang terlibat aktif. Mereka adalah mata dan telinga pertama,” ujarnya.
Isril berharap pemerintah menangkap momentum bencana kali ini sebagai alarm serius. Ia menilai bahwa Sumbar membutuhkan lompatan kebijakan, bukan langkah-langkah kecil yang bersifat reaktif. “Ini sudah bukan soal teknis semata. Ini soal bagaimana kita ingin membangun kembali peradaban sungai di Minangkabau,” katanya.
Forum DAS Sumbar menegaskan bahwa apabila rekomendasi kebijakan tersebut diabaikan, risiko bencana akan semakin besar dan frekuensinya akan semakin sering. “Kita sedang berada dalam fase kritis. Pilihannya sederhana, memperkuat DAS atau membiarkan bencana menjadi tamu tetap,” tuturnya.






