rekrutmen
Opini

Transparansi Data Pengawasan Publik: Peran Ombudsman Dalam Era Open Data

0
×

Transparansi Data Pengawasan Publik: Peran Ombudsman Dalam Era Open Data

Sebarkan artikel ini
ombudsman

Di tengah tuntutan keterbukaan pemerintahan, data pengawasan publik hasil pemeriksaan lembaga pengawas seperti Ombudsman seharusnya tidak berakhir sebagai dokumen internal semata. Mengubah temuan pengawasan menjadi open data yang terstruktur dan mudah diakses publik dapat meningkatkan akuntabilitas, mempercepat koreksi maladministrasi, dan memberi bahan bukti bagi peneliti serta jurnalis yang melakukan pemantauan independen (Katharina Zuegel, 2018).

Praktik internasional menempatkan Ombudsman pada posisi strategis, sebab lembaga ini tidak hanya menerima dan menelaah pengaduan, tetapi juga dapat menjadi pengelola sumber data pengawasan yang transparan. Dalam OECD (Katharina Zuegel, 2018) menganjurkan agar hasil pengawasan dipublikasikan dalam format yang standar seperti dashboard kasus, kategori maladministrasi, instansi terlapor, dan status tindak lanjut rekomendasi sehingga publik dapat memverifikasi apakah rekomendasi diikuti dan berapa lama proses tindak lanjut berlangsung. Di sisi lain, eksperimen negara maju seperti Estonia menunjukkan bahwa publikasi data secara terstruktur mempermudah analisis tren dan membantu mengidentifikasi kelemahan sistemik pelayanan publik (Katharina Zuegel, 2018).

Namun, keterbukaan data pengawasan menimbulkan tantangan serius terkait privasi dan risiko re-identification. Para ahli privasi memperingatkan bahwa anonimisasi bukanlah solusi yang sederhana, data yang tampak tidak identifikatif dapat dikombinasikan dengan sumber lain sehingga identitas pelapor atau korban terungkap (Ohm, 2010). Oleh karena itu setiap inisiatif open data harus disertai privacy impact assessment (PIA) dan teknik de-identifikasi yang sesuai, sebagaimana dipaparkan dalam literatur teknis de-identifikasi (Emam, 2013) dan kajian keseimbangan privasi juga transparansi (Conroy, 2017).

Oleh karena itu, setiap inisiatif open data pengawasan wajib dilengkapi privacy impact assessment (PIA) dan prosedur de-identifikasi teknis sebelum publikasi. Prinsip ini didukung oleh kerangka hukum nasional UU No.27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan praktik pengelolaan data Ombudsman RI yang sekarang menyediakan dataset triwulanan pengaduan sebagai bagian dari upaya transparansi, penerapan PIA dan teknik anonimisasi yang andal diperlukan untuk mencegah risiko re-identifikasi pelapor atau pihak yang diawasi.

Untuk mengharmoniskan manfaat transparansi dan kewajiban perlindungan data, terdapat usulan langkah-langkah praktis berikut bagi Ombudsman dan lembaga pengawas serupa: 1. Standarisasi Format Publikasi : Terapkan metadata dan kode kategori kasus yang seragam misalnya, jenis maladministrasi, unit terlapor, wilayah, status tindak lanjut sehingga data dapat diolah secara interoperabel (CSV atau JSON) oleh peneliti dan media (Katharina Zuegel, 2018).

2. Dashboard Publik Terbuka : Bangun portal visual yang menampilkan ringkasan temuan, peta sebaran kasus, dan metrik waktu penyelesaian rekomendasi. Dashboard memperlihatkan akuntabilitas dalam waktu nyata tanpa melepaskan data sensitif. 3. Protokol Anonimisasi dan PIA : Setiap dataset harus melalui proses PIA dan langkah anonimisasi teknis pseudonimisasi, agregasi, suppression sehingga risiko re-identifikasi dapat diminimalkan (Ohm, 2010) dan (Emam, 2013). 4. Kolaborasi Multistakeholder : Libatkan akademisi, media data-journalism, dan LSM dalam desain dataset dan pengujian kegunaan (data usability testing). Kolaborasi ini membantu meningkatkan data literacy publik dan kredibilitas publikasi. 5. Mekanisme Pengawasan atas Data : Bentuk unit internal yang memonitor kualitas data (consistency checks) dan menilai kelanjutan rekomendasi sebuah langkah yang menjadikan data bukan sekadar publikasi, tetapi alat pengawasan yang hidup (Katharina Zuegel, 2018).

Langkah-langkah tersebut juga harus dipandang dalam kerangka hukum administrasi yang berlaku. Secara khusus, penggunaan dan publikasi data pengawasan perlu konsisten dengan ketentuan mengenai diskresi dan batasnya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada pasal 1 ayat (9) yang mendefinisikan diskresi dan ketentuan pembatasannya pada Pasal 24, serta dengan mandat pengawasan Ombudsman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008  pada pasal 6 hingga 7 tentang tugas dan wewenang serta Pasal 38 tentang kewajiban tindak lanjut. Dengan demikian, praktik open data pengawasan wajib menjaga asas legalitas dan perlindungan hak warga, sekaligus menerapkan prosedur yang mencegah penyalahgunaan diskresi.

Hasilnya, open data pengawasan bukan sekadar persoalan teknologi ia adalah transformasi budaya pengawasan. Dengan komitmen pada kualitas data, perlindungan privasi, dan kolaborasi publik-ilmiah, Ombudsman dapat mengubah hasil pengawasan dari rekomendasi tertutup menjadi instrumen publik yang kuat untuk mencegah maladministrasi dan memperkuat kepercayaan warga terhadap pemerintahan.

Oleh : Ardhy Asyhabie Mahasiswa UNP