Diskresi dalam administrasi pemerintahan modern merupakan instrumen penting yang memberi ruang bagi pejabat publik untuk bertindak ketika aturan yang ada belum mengatur suatu keadaan secara lengkap (Taufiqurrahman, 2024). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mendefinisikan diskresi sebagai keputusan atau tindakan pejabat pemerintah untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika terjadi kekosongan hukum, ketidakjelasan aturan, atau stagnasi pemerintahan.
Definisi ini menegaskan bahwa diskresi bukan kebebasan tanpa batas, tetapi mekanisme yang memungkinkan pemerintah tetap memenuhi kepentingan umum ketika hukum positif tidak mampu menjangkau semua situasi yang muncul (Sembiring et al., 2025). Dalam konteks negara kesejahteraan, tuntutan pelayanan publik yang cepat dan adaptif menjadikan diskresi sebagai elemen penting responsivitas pemerintah (Mustamu, 2011).
Dalam praktiknya, diskresi sering digunakan untuk menghadapi situasi mendesak atau kondisi yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Kekosongan hukum, ketidaksesuaian antara aturan dan kondisi lapangan, serta kebutuhan masyarakat yang berubah cepat membuat pejabat harus mengambil keputusan tanpa menunggu perubahan regulasi yang biasanya memakan waktu lama. Diskresi dalam hal ini berfungsi sebagai jembatan antara tuntutan efisiensi dan keterbatasan hukum positif.
Meskipun memberikan ruang kebebasan, penggunaan diskresi tetap harus mematuhi prinsip legalitas, kepentingan umum, akuntabilitas, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik agar tidak berubah menjadi tindakan sewenang-wenang (Dadi, 2024). Salah satu contoh nyata dapat dilihat pada penggunaan diskresi oleh pejabat kecamatan dalam pelayanan administrasi kependudukan. Banyak warga membutuhkan dokumen penting secara mendesak, tetapi belum memenuhi seluruh persyaratan administratif.
Dalam keadaan seperti ini, camat dapat mengambil keputusan atas kebijakannya sendiri agar pelayanan tidak terhambat dan hak masyarakat tetap terpenuhi, terutama dalam kondisi darurat seperti kebutuhan dokumen untuk pelayanan kesehatan atau pendidikan (Wahyudi, 2025). Contoh tersebut menunjukkan bahwa diskresi dapat mempercepat pelayanan dan memastikan negara hadir ketika masyarakat membutuhkan respons cepat (Sembiring et al., 2025). Tanpa diskresi, layanan publik sering kali justru terhenti dan merugikan masyarakat. Namun, penggunaan diskresi tidak lepas dari risiko, terutama potensi penyalahgunaan wewenang.
Banyak pejabat merasa ragu menggunakan diskresi karena takut keputusannya dianggap melebihi kewenangan atau menimbulkan kerugian negara yang dapat berujung pada proses hukum (Sihotang, 2017). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pejabat dapat menghadapi tuntutan hukum meski tindakan mereka ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak memberikan manfaat pribadi. Dalam sejumlah kasus pelayanan publik, percepatan prosedur yang dimaksudkan untuk memperbaiki pelayanan justru dinilai sebagai pelanggaran ketentuan formal dan berakibat pada tuduhan maladministrasi atau korupsi (Sihotang, 2017). Ketakutan seperti ini melahirkan fenomena “diskresi defensif,” yaitu pejabat menghindari pengambilan keputusan penting demi menjaga keselamatan diri.
Perdebatan mengenai batas diskresi mencuat kembali setelah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus ketentuan bahwa diskresi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagian akademisi menilai langkah ini sebagai upaya mengembalikan diskresi ke konsep dasarnya, yaitu kebebasan yang tetap terikat dan memberi ruang improvisasi ketika aturan tidak memadai (Mahasin, 2024). Namun, sebagian lainnya menilai perubahan ini berpotensi membuka ruang penyalahgunaan karena batas normatif diskresi menjadi lebih longgar (Sihotang, 2017).
Karena itu, meskipun ruang diskresi diperluas, penggunaannya tetap harus mengikuti prinsip proporsionalitas, akuntabilitas, kehati-hatian, dan berorientasi pada kepentingan umum agar tetap sejalan dengan prinsip negara hukum (Dadi, 2024). Pada titik ini, muncul ketegangan antara diskresi sebagai alat mempercepat kebijakan dan diskresi sebagai potensi penyimpangan. Di satu sisi, diskresi memungkinkan pemerintah lebih fleksibel sehingga tidak terjebak dalam prosedur yang kaku dan menghambat pelayanan publik. Tanpa diskresi, reformasi birokrasi sering hanya menjadi slogan karena pejabat terikat pada prosedur panjang yang tidak sesuai kondisi di lapangan (Mustamu, 2011).
Namun, semakin besar ruang diskresi, semakin besar pula peluang terjadinya penyalahgunaan, terutama jika keputusan tidak didasarkan pada analisis yang baik, data yang cukup, atau dipengaruhi kepentingan tertentu (Sihotang, 2017). Sebuah kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk memperbaiki pelayanan dapat berubah menjadi tindakan bermasalah jika tidak diikuti pengawasan dan mekanisme pertanggungjawaban yang memadai. Pengalaman empiris menunjukkan pola yang cukup konsisten: diskresi yang digunakan secara tepat meningkatkan kecepatan pelayanan dan kepuasan publik, sedangkan diskresi yang tidak mengikuti prosedur justru menimbulkan persoalan hukum. Karena itu, pejabat publik tidak hanya perlu memahami aturan mengenai diskresi, tetapi juga harus memiliki integritas, kemampuan analitis, dan keberanian mengambil keputusan dalam batasan hukum (Taufiqurrahman, 2024).
Pengawasan internal dan eksternal, termasuk oleh inspektorat dan Ombudsman, menjadi sarana penting untuk memastikan diskresi digunakan secara benar tanpa menimbulkan ketakutan berlebih bagi pejabat (Sembiring et al., 2025). Dengan regulasi yang jelas, budaya birokrasi yang profesional, dan sistem pengawasan yang kuat, diskresi dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif untuk menciptakan pemerintahan yang dinamis, efisien, adaptif, dan tetap berpegang pada prinsip negara hukum (Dadi, 2024). Pada akhirnya, kemampuan pemerintah menyeimbangkan fleksibilitas dan pengawasan akan menentukan apakah diskresi menjadi solusi yang cepat atau justru sumber penyalahgunaan wewenang.
Oleh: Rindu Wahyuni Mahasiswa UNP








