“Kemarin, @thorogoodchris1 dari Oxford Botanic Garden’s menjadi bagian dari tim yang menjelajahi hutan hujan Sumatera (sebuah pulau di Indonesia) yang dijaga harimau siang dan malam untuk menemukan Rafflesia hasseltii,” tulis akun @University of Oxford, dalam pers rilis mereka menyusul temuan puspa langka yang masih semarga dengan bunga bangkai raksasa Rafflesia arnoldii tersebut.
Sekilas, sepertinya tidak ada yang salah dengan pers rilis tersebut. Akan tetapi jika kita sangkutkan dengan histeria serupa yang terjadi di Indonesia, terutama karena temuan ini juga sempat viral, maka sepertinya ada yang kurang dalam sampaian akun universitas terkemuka dunia dari negara Inggris tersebut.
Seperti yang kita ketahui, penemuan puspa langka Rafflesia hasseltii di Sumpur, Sijunjung, Sumatera Barat tersebut bukan kerja perseorangan dari ilmuwan University of Oxford semata. Di dalam tim lapangan yang bekerja mungkin lebih keras dari para ilmuwan asing tersebut dalam merambah dan merintis jalan sampai kepada keberhasilan penemuan bunga yang terakhir teramati empat belas tahun lalu tersebut, juga ada peran yang tidak kalah besar dari orang-orang lokal.
Mereka terdiri dari para saintis lokal, pemerhati lingkungan sampai kepada tenaga lapangan. Sebenarnya, sudah menjadi rahasia umum, kalau dalam tim ekspedisi campuran dalam dan luar negeri seperti itu, kerja keras yang bersifat fisik sampai pada menantang bahaya dari unsur-unsur alam selama lapangan, lebih banyak disandarkan kepada anggota tim yang berasal dari lokal.
Mereka yang dari luar seringkali “menikmati” keberadaan di lapangan: bebannya diangkat oleh porter, jalan dan lokasi camping untuk mereka dirintiskan, sampai kepada yang paling krusialnya, yaitu ketika ada penemuan-penemuan ilmiah di lapangan, mereka justru yang didahulukan.
Entah karena mereka yang dari luar ini merasa sudah membayar lebih untuk ekspedisi tersebut, atau karena memang orang-orang kita yang sudah terbiasa berlaku “membawahkan diri” saat berhadapan dengan orang-orang luar tersebut. Mentalitas, yang kata sebagian orang, merupakan warisan zaman penjajahan.
Kembali lagi pada pers rilis University of Oxford tadi, yang memang terkesan ingin menonjolkan penemuan tersebut sebagai usaha sendiri dan mengabaikan pihak-pihak lain yang turut berkontribusi di dalamnya. Meskipun sudah diberikan counter oleh Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) bahwa nantinya dalam terbitan ilmiah yang direncanakan muncul dari temuan tersebut tetap ilmuwan Indonesia asal BRIN yang akan berada pada posisi authorship pertama, tetapi itu tidak meredam kecaman yang disampaikan pada akun University of Oxford atas press rilisnya tersebut. Bahkan bukan hanya kalangan dari dalam negeri saja yang memberikan kritikan, juga banyak kalangan intelektual luar negeri yang ikut mencela langkah yang diambil tersebut.
Hal seperti ini tidak sekali dua kali terjadi jika dilihat dalam hal kerja sama penelitian yang melibatkan peneliti lokal dan asing. Satu dekade lalu, seorang peneliti ular berbisa asal Jerman, Gernot Vogell, bahkan melakukan hal lebih buruk lagi dari sudut pandang akademis. Gernot Vogel ini biasanya menargetkan peneliti “akar rumput”, mahasiswa atau perseorangan yang dikontaknya secara langsung setelah melihat postingan mereka mengenai jenis-jenis ular di akun sosial media masing-masing.
Dengan bujuk rayu dan sedikit tawaran uang, ia meminta dikirimi sampel ular-ular khas tropis tersebut. Dengan cara demikian, ia berhasil menerbitkan buku The Snakes of Sumatra: An Annotated Checklist and Key with Natural History Notes tanpa sedikit memberikan penghargaan yang selayaknya untuk para kolaborator lokalnya.
Juga dengan tersebut, ia berhasil menghindari kewajiban bekerja sama dengan BRIN dan universitas lokal yang sebenarnya bertujuan untuk memajukan keilmuan dalam negeri. Gernot Vogel sendiri sekarang telah masuk daftar cekal untuk berkunjung ke Indonesia.
Kita belum lagi menghitung kasus-kasus yang lebih sulit terdeteksi, semisal para saintis Barat yang pura-pura datang sebagai wisatawan untuk masuk ke Indonesia untuk kemudian melakukan pengambilan sampel mikroorganisme atau molekular. Karena ukurannya yang sangat kecil, kedua jenis sampel ini sangat mudah untuk diselundupkan menggunakan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang diijinkan sebagai bagian dari travel pack seorang turis.
Contoh yang paling terkenal adalah penemuan bakteri unik yang membunuh serangga vector penyakit seperti nyamuk dan kecoa, di mana strain awalnya diambil dari salah satu wilayah Indonesia dan dibawa ke luar negeri lewat botol air minum. Sampai di negara asalnya, bakteri tersebut dibiakkan dan kemudian dikomersilkan sebagai agen pengendali serangga merugikan. Dalam kasus ini, Indonesia sama sekali tidak dapat apapun, kalau tidak bisa dikatakan rugi sama sekali.
Pengabaian peran serta ilmuwan dan kaum intelek dalam negeri dalam kerangka kerja sama dengan peneliti dari luar negeri, bisa dikatakan sebagai bentuk pelecehan tersendiri. Indonesia tidak pernah kekurangan tenaga ahli yang mampu berdiri sebanding dan sama tinggi dengan mereka yang berasal dari luar.
Sehingga sebenarnya, perlu peran aktif para pemangku kebijakan di tanah air ini untuk menyertai para akademisinya agar dapat lebih dihargai oleh orang asing. Misalnya dengan menetapkan aturan-aturan baku dalam kerja sama penelitian, penegakan sanksi jika terjadi pelanggaran, sampai kepada penetapan daftar cekal untuk ilmuwan yang sama atau ilmuwan lain yang berasal dari lembaga atau negara yang sama dengan yang melakukan pelanggaran. Sudah waktunya ilmuwan Indonesia berkibar dan diakui oleh sejawatnya seantero global.
Oleh: Muhammad Nazri Janra Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand








