rekrutmen
Opini

Saatnya Pendidikan Islam Memimpin Literasi-Numerasi

0
×

Saatnya Pendidikan Islam Memimpin Literasi-Numerasi

Sebarkan artikel ini
literasi

Hasil Asesmen Nasional (AN) terbaru kembali memunculkan kegelisahan lama yang belum juga terjawab: rendahnya kemampuan literasi dan numerasi peserta didik Indonesia. Temuan ini bukan sekadar fluktuasi statistik, melainkan cermin yang memantulkan kondisi fundamental pendidikan kita. Dalam beberapa tahun, skor numerasi menunjukkan kecenderungan penurunan, sementara literasi hanya bergerak pelan.

Dalam diskursus publik, isu AN sering lewat begitu saja dikomentari, diperdebatkan, lalu hilang. Namun bagi pendidikan Islam, terutama madrasah dan pesantren yang menampung jutaan peserta didik, hasil AN adalah alarm peringatan dini. Ia bukan sekadar potret saat ini, melainkan sinyal masa depan kualitas sumber daya manusia yang sedang kita bentuk.

Penurunan numerasi bukanlah persoalan teknis atau sekadar akibat perubahan format soal. Ia menunjukkan kelemahan struktural: dari budaya belajar yang terlalu berpusat pada guru dan hafalan, hingga kurangnya ruang bagi siswa untuk bernalar dan memahami konteks. Numerasi seharusnya merupakan kemampuan membaca dunia melalui angka, pola, dan logika. Namun dalam banyak ruang kelas, matematika masih diperlakukan sebagai latihan meniru rumus, bukan proses memahami masalah.

Hal ini tidak berhenti pada sekolah umum. Dalam pendidikan Islam, khususnya madrasah, mata pelajaran umum sering kali tak mendapatkan ruang penguatan yang memadai dibanding mata pelajaran agama. Paradigma ini muncul seakan kemampuan membaca kitab bisa tumbuh tanpa literasi modern, atau kemampuan memahami konsep syariah dapat berjalan tanpa numerasi. Padahal, kitab turats justru kaya dengan struktur logika, hitungan faraid, dan penalaran deduktif—yang semuanya membutuhkan kemampuan literasi dan numerasi yang kuat.

Di banyak pesantren, budaya membaca kitab kuning sangat kuat. Namun tradisi literasi itu kerap tidak diterjemahkan ke dalam kemampuan membaca teks non-keagamaan, memahami data, atau menganalisis persoalan kontemporer. Inilah titik yang jarang dibicarakan: literasi kitab tidak selalu berbanding lurus dengan literasi modern.

Dampak Sistemik

AN bukanlah garis akhir, melainkan titik awal dari rangkaian panjang evaluasi pendidikan. Ketika kemampuan dasar siswa—terutama literasi dan numerasi—masih rapuh, seluruh tahapan asesmen berikutnya akan ikut terganggu. Hal ini terlihat jelas pada Tes Kompetensi Akademik (TKA), yang menuntut kemampuan analisis kuantitatif dan penalaran verbal. Kelemahan numerasi yang muncul di AN hampir pasti berulang dalam skor TKA, bukan karena soalnya lebih sulit, tetapi karena fondasi berpikir logis tidak pernah benar-benar terbentuk sejak jenjang awal.

Dampaknya juga terasa pada Imtihan Wathani, ujian nasional pesantren yang mengukur penguasaan kitab kuning. Ujian ini menuntut kemampuan membaca teks, memahami struktur kalimat, menafsirkan argumen, dan menarik kesimpulan secara tepat—semua membutuhkan literasi tingkat tinggi. Pada materi tertentu seperti fikih dan hisab, numerasi bahkan menjadi bagian integral. Ketika kemampuan dasar ini melemah, kedalaman pemahaman kitab pun terhambat, dan proses tafaqquh fid-din tidak dapat berlangsung optimal.

Dengan demikian, rendahnya literasi dan numerasi bukanlah isu yang hanya melekat pada sekolah umum. Ia menjalar ke seluruh jenjang pendidikan Islam, madrasah hingga pesantren dan menentukan kesiapan lulusan dalam menghadapi tantangan zaman. Memperkuat fondasi ini bukan sekadar urusan teknis evaluasi, melainkan investasi strategis bagi masa depan pendidikan Islam di Indonesia.

Implikasi Global

Programme for International Student Assessment (PISA) menilai kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan pada situasi baru. Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rerata negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menjadi acuan standar global dalam literasi membaca dan matematika. Hasil AN yang stagnan membuat upaya meningkatkan skor PISA semakin berat.

Madrasah mengelola sekitar seperlima peserta didik Indonesia. Pesantren memiliki jutaan santri aktif. Dengan populasi sebesar itu, kualitas pendidikan Islam sangat berpengaruh terhadap capaian pendidikan nasional secara keseluruhan. Jika ekosistem ini tidak diperkuat, maka meningkatkan skor PISA akan sulit dicapai.

Pendidikan Islam berada pada posisi strategis untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional. Namun untuk bergerak maju, madrasah dan pesantren tidak cukup hanya mengandalkan retorika perubahan. Mereka membutuhkan langkah konkret yang menyentuh inti persoalan: kemampuan dasar literasi dan numerasi yang menjadi pondasi seluruh proses belajar. Di sinilah pentingnya pendekatan integratif, di mana pembelajaran agama tidak dipisahkan dari kecakapan dasar tersebut. Fikih waris, misalnya, mengasah numerasi; sementara tafsir menuntut kemampuan literasi tingkat tinggi.

Kualitas guru menjadi faktor paling menentukan. Selama ini pelatihan guru sering berlangsung secara seremonial tanpa dampak nyata di kelas. Karena itu, peningkatan kompetensi guru harus dilakukan melalui pelatihan aplikatif, praktik langsung, dan pendampingan yang berkelanjutan. Pendekatan coaching jauh lebih relevan dibanding seminar massal. Guru yang kompeten akan menjadi motor peningkatan kualitas pembelajaran, termasuk dalam memaknai hasil Asesmen Nasional sebagai dasar perbaikan.

Selain itu, ekosistem evaluasi pendidikan Islam perlu diselaraskan. Hasil AN tidak boleh berhenti sebagai laporan, tetapi harus menjadi pijakan untuk mempersiapkan siswa menghadapi Tes Kompetensi Akademik (TKA) maupun Imtihan Wathani di pesantren. Ketiganya harus saling mendukung agar usaha peningkatan mutu berjalan konsisten dari hulu ke hilir. Upaya ini perlu diperkuat dengan penyederhanaan kurikulum. Materi yang terlalu padat membuat guru terjebak pada kejar tayang, alih-alih mendorong siswa menggunakan nalar secara lebih mendalam.

Pada akhirnya, penguatan budaya literasi harus menjadi agenda utama pesantren. Tradisi membaca kitab kuning adalah kekuatan besar, tetapi harus diperluas menjadi budaya literasi modern: membaca konteks sosial, sains, dan perkembangan zaman. Perpustakaan pesantren harus menjadi pusat belajar yang hidup, bukan sekadar ruang penyimpanan buku. Bila lima langkah strategis ini dijalankan dengan konsisten, pendidikan Islam bukan hanya menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi juga lokomotif yang menggerakkan kualitas bangsa menuju masa depan yang lebih berdaya.

Menentukan Arah Masa Depan

Rendahnya literasi dan numerasi bukan sekadar masalah teknis pendidikan. Ia adalah persoalan masa depan bangsa. Jika kemampuan dasar ini tidak segera diperbaiki, maka generasi kita akan memasuki era global tanpa bekal nalar yang memadai.

Pendidikan Islam dengan jumlah peserta didik yang besar dan pengaruh sosial yang luas memiliki kesempatan besar untuk menjadi penggerak perubahan. Namun kesempatan itu hanya akan menjadi kenyataan jika pemangku kebijakan mengambil langkah berani, sistematis, dan terukur.

Saat ini, kita berada pada titik di mana pembenahan literasi dan numerasi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Dan seperti halnya nasihat para pendidik bijak, masa depan tidak datang dengan sendirinya; ia dibentuk oleh keputusan yang kita ambil hari ini.

Oleh: Aziz Saleh, ST. M.Si Kasubtim Bagian Data, Sistem Informasi, dan Humas Setditjen Pendis Kemenag

DAS
Opini

Padang, hantaranCo–Forum DAS adalah wadah koordinasi dan komunikasi…