rekrutmen
Opini

Konflik: Musuh yang Diperlukan atau Katalis Perubahan?

1
×

Konflik: Musuh yang Diperlukan atau Katalis Perubahan?

Sebarkan artikel ini
Konflik

Dalam kajian sosiologi konflik, kita memahami bahwa konflik adalah hal yang melekat dalam kehidupan manusia. Selama manusia ada, selama itu pula konflik akan terus hadir dalam dinamika interaksi kita.

Konflik, dalam pandangan sosiologis, bukanlah anomali atau penyakit yang harus dimusnahkan hingga ke akar-akarnya, melainkan sebuah gejala sosial yang inheren, sebangun dengan adanya perbedaan kepentingan, nilai, dan sumber daya yang terbatas. Persoalannya, mungkin sebagian besar dari kita secara instingtif memandang konflik sebagai suatu hal yang negatif, identik dengan kerusakan, permusuhan, dan bahaya.

Pertanyaannya, apakah pandangan simplistik ini sepenuhnya benar? Pandangan itu tidak sepenuhnya salah, tentu kita perlu waspada terhadap dampak destruktifnya. Namun, kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk memahami dengan tepat kapan konflik itu merusak dan kapan justru ia menyimpan potensi manfaat yang besar bagi kemajuan.

Pada hakikatnya, konflik dapat berfungsi sebagai katalisator positif bagi kehidupan sosial. Salah satu manfaat sosiologisnya adalah kemampuannya dalam memperkuat solidaritas dan kohesi internal suatu kelompok. Teori klasik, seperti yang diajukan oleh Lewis Coser, menyoroti bagaimana ancaman dari luar atau ketegangan dengan kelompok lain seringkali menyatukan anggota kelompok, mengikis perbedaan kecil di antara mereka, dan memfokuskan energi pada tujuan bersama.

Dalam konteks bangsa, semangat nasionalisme seringkali menguat justru ketika menghadapi tantangan atau ancaman dari negara lain. Selain itu, konflik berperan sebagai alat diagnostik yang tajam untuk mengidentifikasi kelemahan dalam suatu tatanan. Ia bagai demam tinggi yang menandakan adanya infeksi dalam tubuh; konflik sosial menandakan adanya ketimpangan, ketidakadilan, atau kebobrokan dalam sistem yang berjalan. Tanpa adanya gesekan dan kritik yang ditimbulkan oleh konflik, kekurangan-kekurangan tersebut mungkin akan tetap tertutup rapat, dibiarkan membusuk dan akhirnya meruntuhkan sistem dari dalam.

Sebuah contoh konkret dan monumental dalam sejarah Indonesia adalah era Reformasi. Gelombang demonstrasi besar-besaran dan ketegangan politik pada tahun 1998 adalah sebuah konflik dahsyat yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Konflik itu menimbulkan gejolak, rasa tidak nyaman, dan ketakutan.

Namun, mustahil kita menikmati ruang kebebasan dan tatanan demokrasi yang lebih terbuka saat ini jika konflik tersebut tidak pernah terjadi. Konflik 1998 berfungsi sebagai pembongkar paksa terhadap sistem Orde Baru yang sudah tidak responsif lagi terhadap aspirasi rakyat. Ia memaksa sebuah perubahan fundamental, sebuah reformasi total yang melahirkan lembaga-lembaga baru, amendemen konstitusi, dan pergeseran kekuasaan yang lebih demokratis. Dalam perspektif ini, konflik bukanlah penghalang kemajuan, melainkan jalan berliku yang harus dilalui untuk mencapai suatu kemajuan.

Lantas, jika bisa bermanfaat, mengapa ia seringkali berakhir dengan luka dan kerusakan? Jawabannya terletak pada pengelolaannya. Konflik akan berubah menjadi destruktif ketika ia dibiarkan menggelembung tanpa kendali, ketika komunikasi putus, dan ketika pihak-pihak yang bertikai hanya mengandalkan kekerasan atau pemaksaan kehendak.

Di sinilah esensi manajemen menjadi sangat krusial. Mengelola konflik bukanlah tentang menghindari atau menekannya hingga hilang, melainkan tentang mengarahkan dinamika konflik agar energi yang dihasilkannya tidak meledak secara membabi-buta, melainkan dialirkan untuk mendorong perubahan yang konstruktif.

Dalam kajian sosiologi, konsep kunci untuk mencegah ledakan destruktif ini adalah safety valve atau katup penyelamat. Safety valve adalah mekanisme atau saluran institusional yang disediakan untuk menampung dan menyalurkan berbagai ketegangan, kekecewaan, dan kepentingan yang berpotensi memicu konflik. Dengan menyediakan saluran yang aman dan terlegitimasi, tekanan sosial yang tinggi dapat dikurangi tanpa perlu merusak struktur hubungan sosial yang ada.

Penerapannya dalam skala mikro, misalnya dalam sebuah perusahaan, sangat jelas. Bayangkan sebuah lingkungan kerja di mana hubungan antar karyawan terasa kaku dan mudah tersulut emosi. Jika tidak ada saluran untuk menyampaikan keluhan atau ketidakpuasan, tekanan itu akan terakumulasi. Karyawan mungkin akan menjadi sinis, tidak produktif, dan pada puncaknya, mereka bisa memilih untuk resign secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, meninggalkan perusahaan dengan teka-teki dan biaya rekrutmen baru.

Implementasi safety valve dalam konteks ini bisa sesederhana menyediakan kotak saran yang dijamin kerahasiaannya, mengadakan forum dialog rutin antara manajemen dan staf, atau membentuk program mediasi internal. Saluran-saluran ini berfungsi sebagai penyambung pipa yang mampet, membiarkan uap ketidakpuasan keluar sedikit demi sedikit sehingga tidak sampai meledakkan ketel uap seluruh sistem perusahaan. Dengan kata lain, ia mengubah konflik yang potensial dan tersembunyi menjadi sebuah umpan balik yang dapat dikelola dan dijadikan bahan perbaikan.

Dalam skala makro, masyarakat, demonstrasi yang damai dan tertib adalah salah satu bentuk safety valve yang vital dalam negara demokrasi. Ketika masyarakat merasa suaranya tidak didengar melalui saluran formal seperti parlemen, demonstrasi menjadi saluran alternatif untuk menyampaikan aspirasi secara kolektif.

Dengan mengizinkan dan mengatur demonstrasi secara damai, negara pada dasarnya sedang mengakui adanya ketegangan dan menyediakan saluran untuk menyalurkannya. Tindakan ini jauh lebih bijaksana daripada memenjarakan semua bentuk protes. Membungkam protes hanya akan memindahkan konflik dari ruang publik yang terbuka ke dalam ruang gelap dimana ia bisa berubah menjadi aksi-aksi kekerasan, radikalisme, atau terorisme yang jauh lebih sulit dikendalikan dan diprediksi.

Oleh karena itu, konflik itu sendiri pada dasarnya netral. Ia bukanlah musuh yang harus kita takuti secara membabi buta. Sifatnya, apakah destruktif atau konstruktif, sepenuhnya bergantung pada kapasitas kita dalam mengelolanya. Masyarakat yang matang dan resilient bukanlah masyarakat yang bebas konflik, melainkan masyarakat yang memiliki mekanisme dan kelembagaan yang kuat untuk mengelola konflik yang pasti muncul.

Kemampuan untuk mentransformasikan energi yang panas dan kacau menjadi sebuah daya dorong bagi inovasi, perbaikan, dan penguatan solidaritas inilah yang membedakan masyarakat yang stagnan dengan masyarakat yang dinamis dan progresif. Konflik adalah bagian dari napas kehidupan sosial; tugas kita bukanlah menahan napas selamanya, melainkan belajar mengatur pernapasan agar kita tetap bisa berlari menuju masa depan yang lebih baik.

Oleh: Fendi Agus Syaputra Dosen Sosiologi/Peneliti CAEJ UNAND

DAS
Opini

Padang, hantaranCo–Forum DAS adalah wadah koordinasi dan komunikasi…