Pembangunan sering digambarkan hanya dengan angka-angka grafik yang naik, persentase yang melesat, atau PDRB yang membubung seolah menjadi dewa baru dalam altar pembangunan. Sering kita bertepuk tangan ketika angka-angka itu naik, seolah kemakmuran otomatis mengalir ke setiap rumah, setiap jiwa, setiap sudut nagari.
Namun kenyataannya, pembangunan tidak selalu semegah grafiknya. Ada daerah yang PDRB-nya melonjak seperti roket, tetapi rakyatnya tetap menggenggam kemiskinan seperti warisan yang tak bisa dilepaskan. Ada pula wilayah yang tampak biasa saja pertumbuhan ekonominya, namun masyarakatnya hidup lebih layak, lebih sehat, lebih cerdas.
Mengapa hal ini terjadi?
Karena angka pertumbuhan ekonomi tidak menceritakan kesejahteraan manusia tetapi hanya menceritakan aktivitas ekonomi yang sering kali berputar di lingkaran para pemodal besar. Maka muncul pertanyaan yang menampar kesadaran dunia: “Apa arti pembangunan jika manusianya tidak ikut naik derajatnya?”
Pertanyaan itulah yang kemudian melahirkan dua cermin penting dalam pembangunan global: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Modal Manusia (IMM).
IPM: Cermin Martabat Manusia Saat Ini
IPM pertama kali muncul dalam “Human Development Report 1990”, yang disusun oleh Mahbub ul Haq bersama dengan Amartya Sen (peraih Nobel Ekonomi), untuk United Nations Development Programme (UNDP) sebuah Badan PBB untuk program pembangunan. Sejak saat itu, IPM menjadi indikator global utama untuk mengukur pembangunan kesejahteraan manusia, digunakan oleh hampir seluruh negara di dunia.
IPM seumpama cermin yang meminta kita menatap wajah polos pembangunan, tanpa topeng dengan angka-angkanya yang gemerlap. IPM di bangun oleh tiga dimensi, yaitu Umur Harapan Hidup, Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah, serta Pengeluaran per kapita. IPM mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun yang terpenting adalah meningkatkan martabat manusia.
Dimensi pertama, kesehatan: hak untuk hidup lebih lama. Bayangkan seorang bayi lahir hari ini. Di matanya dunia masih polos dan penuh harapan. Dari Umur Harapan Hidup, seakan terdengar sebuah bisikan: “Berapa lama bayi ini bisa bertahan, hidup, tumbuh, bermimpi?”
Jika angkanya tinggi, itu berarti masyarakat dilindungi oleh pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi, air bersih, dan kekuatan sistem kesehatan. Jika rendah, menjadi alarm keras yang menandakan rapuhnya fondasi kehidupan.
Dimensi, kedua, pendidikan; hak untuk bermimpi lebih jauh pada Harapan Lama Sekolah dan Rata-Rata Lama Sekolah, sesungguhnya pemerintah sedang ditanya: “Seberapa besar peluang seorang anak miskin di pelosok mampu mengubah takdirnya?” Pendidikan tidak hanya sekadar bangku dan papan tulis namun tiket keluar dari kemiskinan dan pintu masuk menuju masa depan yang lebih luas.
Dimensi ketiga: standar hidup, hak untuk hidup layak. Pengeluaran per kapita tidak hanya sekedar angka rupiah namun menjelma menjadi pertanyaan sederhana yang sangat manusiawi: “Bisakah keluarga ini makan tiga kali sehari? Mampukah mereka berobat? Bisakah mereka bertahan saat krisis?” Dimensi ini melihat apakah rumah tangga mampu melewati badai ekonomi dengan martabat yang utuh.
IMM: Cermin Masa Depan Anak-anak Kita
Namun dunia tidak berhenti hanya dengan melihat kondisi manusia hari ini. Bangsa-bangsa mulai bertanya lebih jauh: “Jika hari ini anak-anak tumbuh dalam sistem yang rapuh, berapa besar potensi produktivitas mereka hilang di masa depan?”
Pertanyaan itu melahirkan Indeks Modal Manusia (IMM), sebuah cermin kedua, yang tidak hanya melihat kesehatan dan pendidikan, tetapi juga kualitas dari kedua aspek itu serta dampaknya bagi produktivitas generasi mendatang.
Dicetuskan oleh World Bank (Bank Dunia) pada tahun 2018. IMM pertama kali diluncurkan dalam rangkaian agenda global bernama Human Capital Project (HCP), sebuah inisiatif internasional untuk mendorong investasi jangka panjang pada pendidikan, kesehatan, dan kualitas manusia. Sejak 2018, IMM menjadi salah satu indikator utama untuk menilai potensi produktivitas generasi mendatang, khususnya terkait kualitas pendidikan, survival rate, dan kesehatan.
Jika IPM menggambarkan kondisi saat ini, maka IMM menggambarkan masa depan yang akan kita panen. IMM bertanya lebih tajam. Apakah anak-anak kita tumbuh sehat dengan baik? Apakah mereka belajar di sekolah yang benar-benar mengajarkan kemampuan, karakter dan bukan sekadar hadir dan mencatat? Apakah mereka memiliki peluang untuk menjadi manusia dewasa yang sehat dan produktif? Berapa persen potensi produktivitas seorang anak yang lahir hari ini bisa tercapai saat ia dewasa?
IMM mengingatkan pemerintah selaku penyusun kebijakan pembangunan: “Jika kualitas pembelajaran buruk hari ini, maka produktivitas bangsa akan merosot esok hari.” Jika IPM adalah cermin masa kini, maka IMM adalah proyeksi masa depan, proyeksi yang tidak berdasarkan firasat, tetapi pada data dan kemampuan biologis, kognitif, dan sosial anak-anak bangsa.
Mengapa IPM dan IMM penting digunakan bersama? IPM mengajak kita melihat apa yang kita miliki sekarang, sementara IMM memaksa kita jujur tentang apa yang kita siapkan untuk generasi yang akan datang. Pembangunan baru akan lengkap ketika kedua cermin ini sama-sama bening dan meninggi.
Pertumbuhan yang Tidak Lupa pada Manusia
Sumatera Barat mungkin tidak memiliki pertumbuhan ekonomi setinggi daerah dengan industri besar. Namun bagaimana dengan indikator kesejahteraan manusianya: Kemiskinan terus menurun, tahun 2025 mencapai 5,35 persen, nomor dua terendah di Sumatera dan nomor 6 secara nasional. Ketimpangan ekonomi sangat rendah (gini ratio 0,282), terbaik ketiga nasional. Sekaligus memberikan gambaran, kondisi ekonomi yang relatif setara membuat provinsi ini sulit dimasuki pengacau dan perusuh untuk mengadu domba masyarakatnya. IPM terus meningkat, dan pada 2025 mencapai 77,27 kategori Tinggi dan merupakan nomor dua terbaik di Sumatera serta nomor 6 nasional, yang memberikan gambaran bahwa masyarakatnya sehat, cerdas, dan kuat daya belinya.
Kondisi ini menunjukkan pesan penting bahwa kondisi manusia di Sumatera Barat saat ini sejahtera dibandingkan banyak provinsi lainnya. Dan jika Sumatera Barat ingin memproyeksikan masa depan yang lebih cerah, maka bukan hanya IPM yang harus dijaga tetapi juga IMM generasi mudanya, agar produktivitas masa depan tidak bocor seperti ember berlubang.
IPM & IMM: Dua Kisah, Satu Tujuan
Kedua indikator ini tidak hanya sekadar angka namun bercerita tentang: bayi yang selamat, anak yang belajar dengan mutu tinggi, remaja yang sehat dan siap bekerja, keluarga yang hidup layak tanpa rasa cemas dan masa depan yang lebih produktif.
IPM adalah cermin martabat sebuah daerah hari ini. IMM adalah bayangan masa depan yang akan kita tuai. Ketika sebuah daerah menempatkan IPM sebagai fondasi dan IMM sebagai kompas masa depan, sepertinya dia sedang berkata pada dunia, “Kami membangun kesejahteraan, sekaligus menyiapkan generasi yang unggul”. (*)
Oleh: Medi Iswandi (Mahasiswa Program Doktor FEB Universitas Andalas)








