rekrutmen
BeritaOpini

Quo Vadis Geothermal di Kabupaten Solok “Ketika Penolakan Masyarakat Diabaikan, dan Peluang Investasi Hijau Dipertaruhkan”

1
×

Quo Vadis Geothermal di Kabupaten Solok “Ketika Penolakan Masyarakat Diabaikan, dan Peluang Investasi Hijau Dipertaruhkan”

Sebarkan artikel ini

HANTARAN.CO – Pertanyaan “Quo vadis geothermal di Kabupaten Solok?” kembali menggema setelah isu pengembangan panas bumi di kawasan Salingka Gunung Talang kembali mencuat. Di atas kertas, proyek ini akan menjadi lompatan besar Kabupaten Solok menuju energi hijau dan investasi berkelanjutan.

Namun di lapangan, konflik berkepanjangan, ketegangan sosial, hingga tindakan represif beberapa tahun silam meninggalkan jejak luka yang belum benar-benar sembuh. Di sinilah persoalan mendasarnya ketika pemerintah daerah, khususnya Bupati, tampak melangkah tanpa menoleh pada sejarah penolakan masyarakat, maka proyek sebesar apa pun akan berdiri di atas fondasi rapuh.

Masyarakat Salingka Gunung Talang bukan menolak tanpa alasan. Kekhawatiran terhadap ketergantungan hidup pada lahan pertanian, sumber air, dan keseimbangan lingkungan Gunung Talang sudah mereka suarakan sejak fase awal perencanaan. Namun suara itu sering kali tidak mendapat ruang dialog yang layak.

Puncak tekanan sosial bahkan pernah mencapai titik ekstrem. Aksi protes berubah menjadi anarkis, dipicu kekecewaan karena aspirasi tak terdengar. Bentrokan dengan aparat pun tak terhindarkan. Dalam ingatan publik, peristiwa itu masih jelas: sejumlah warga harus mendekam di penjara akibat konflik tersebut.

Ini bukan sekadar catatan sejarah. Ini adalah penanda bahwa komunikasi publik kala itu gagal, dan sayangnya, hingga kini perbaikan yang substansial belum terlihat jelas.

Pemerintah daerah tentu ingin bergerak cepat mengikuti agenda nasional transisi energi. Bupati pun kerap hadir dalam berbagai forum energi terbarukan, menegaskan komitmen daerah untuk masuk ke era investasi hijau. Namun yang menjadi sorotan adalah minimnya upaya rekonsiliasi sosial dan dialog mendalam dengan masyarakat yang paling terdampak.

Ketika pemerintah tampak fokus menyuarakan manfaat ekonomi dan teknis geothermal, masyarakat menilai pemerintah seperti mengabaikan luka kolektif yang pernah terjadi. Kesan ini semakin kuat ketika langkah-langkah konsultasi publik tidak menyentuh akar persoalan yakni trust masyarakat.

Alhasil, pertemuan dalam bingkai sosialisasi energi panas bumi yang digelar pada Kamis 13 November 2025 lalu, tetap saja sama. Bupati yang kala itu hadir bersama Kapolres Solok, Dandim 0309 dan perwakilan dari PT. Hitay sebagai investor, kembali mendapat penolakan keras dari warga setempat. Warga tetap bersikukuh, sekali tolak, tetap menolak.

Kondisi itu menjadi paradoks dengan hari ini, Kamis (20/11/2025), Bupati JFP kembali menegaskan komitmen nya terkait percepatan energi terbarukan di daerah, kala berbicara dalam focus group discussion bertajuk “Sinergi Pengembangan Energi Terbarukan di Provinsi Sumatera Barat untuk Mendukung Transisi Energi Nasional”.