rekrutmen
Opini

Dikotomi “Buat” Pertumbuhan dan Kesejahteraan

0
×

Dikotomi “Buat” Pertumbuhan dan Kesejahteraan

Sebarkan artikel ini
kesejahteraan

Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan kesejahteraan kerap ditempatkan dalam kerangka dikotomis yang seolah-olah saling bertolak belakang. Di Sumatera Barat, perdebatan mengenai stagnasi ekonomi dan lambannya peningkatan kesejahteraan kembali mengemuka melalui sebuah tulisan baru-baru ini yang mencoba menjelaskan kondisi tersebut dengan beragam rujukan teoritis.

Namun ketika teori diperlakukan secara selektif dan digunakan tanpa konteks sejarah maupun perbandingan global, analisis yang dihasilkan justru berisiko menyesatkan. Di sinilah problem mendasar dari tulisan tersebut, karena membangun dikotomi palsu antara pertumbuhan dan kesejahteraan, seakan keduanya adalah dua kutub yang tak pernah berjalan seiring. Padahal seluruh pengalaman negara yang kini berada dalam kategori maju menunjukkan hal yang sangat berbeda.

Untuk menilai suatu argumen ekonomi, terutama yang berkaitan dengan pembangunan, fondasi empiris adalah prasyarat mutlak. Pertanyaan paling dasar adalah apakah negara-negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melakukannya tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi? Jawaban sepanjang sejarah ekonomi modern nyatanya sangat tegas, tidak ada satu pun.

Amerika Serikat mencapai tingkat kesejahteraan tinggi bukan karena menghindari pertumbuhan, tetapi karena pertumbuhan ekonomi yang eksplosif pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, terutama lewat Revolusi Industri kedua dan ekspansi produktivitas. Inggris, yang menjadi pionir Revolusi Industri, menunjukkan pola yang sama, peningkatan output nasional menjadi pemicu lonjakan pendapatan warga, lalu mendorong urbanisasi, dan transformasi struktur sosial.

Di Asia Timur, masyarakat Jepang bangkit dari kehancuran pasca-Perang Dunia II melalui pertumbuhan tinggi di era 1950–1980-an. Korea Selatan dan Taiwan adalah contoh textbook bagaimana pertumbuhan dua digit selama masa industrialisasi awal menghasilkan kelas menengah baru yang menjadi fondasi kesejahteraan hari ini. Singapura, Hong Kong, dan tentu saja China, semuanya menapaki jalur yang sama, lonjakan pertumbuhan pada fase transisi.

Dalam konteks Eropa Utara, Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, yang menjadi rujukan ketika berbicara tentang negara kesejahteraan, fakta sejarahnya sering terlupakan. Mereka baru membangun welfare state setelah melalui periode pertumbuhan pesat pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Tanpa basis ekonomi yang kuat, tidak mungkin negara-negara ini membiayai layanan publik yang masif seperti hari ini.

Bahkan Uni Soviet pada puncak kejayaannya, meskipun tidak menggunakan perhitungan GDP dalam arti modern, mencatatkan pertumbuhan output industri yang signifikan, sehingga mampu melakukan mobilisasi sumber daya dalam skala masif. Tidak ada contoh negara maju yang memulai kesejahteraan tanpa pertumbuhan kuat sebagai pemicu awal. Maka klaim bahwa pertumbuhan bukan faktor penentu kesejahteraan adalah klaim yang bertentangan dengan seluruh rekam jejak sejarah ekonomi dunia.

Analisis yang membenturkan pertumbuhan dan kesejahteraan dengan terlalu sederhana bukan hanya cacat secara teoretis, melainkan juga berbahaya secara politis. Pasalnya, hal itu berpotensi menjadi justifikasi bahwa kinerja ekonomi Sumatera Barat yang lemah bukanlah masalah besar, asalkan indikator sosial tetap membaik. Padahal, indikator sosial tidak akan mampu terus membaik tanpa basis ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Kesejahteraan tidak jatuh dari langit. Kesejahteraan memerlukan mesin pendorong, dan mesin itu bernama pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil.

Teori-teori yang dikutip seperti pemikiran Amartya Sen, Joseph Stiglitz, atau Jean Dreze, acap kali dipahami secara kurang tepat dan etis. Kritik mereka bukan kepada pertumbuhan ekonomi itu sendiri, tetapi kepada model pertumbuhan yang gagal mendistribusikan manfaatnya secara adil. Mereka tidak pernah menyerukan penghentian pertumbuhan, atau menganggap pertumbuhan tidak relevan. Sebaliknya, mereka menekankan bahwa pertumbuhan adalah syarat penting, tetapi tidak cukup, bagi pembangunan manusia.

Pertumbuhan yang hanya dinikmati segelintir elite memang akan menghasilkan ketimpangan dan stagnasi kesejahteraan. Namun pertumbuhan yang inklusif, yang membuka peluang kerja seluas-luasnya, memperluas kapasitas industri, dan meningkatkan produktivitas, tetap merupakan fondasi utama pembangunan. Pandangan mereka bukanlah argumen untuk melawan pertumbuhan, melainkan argumen untuk meluruskan arah pertumbuhan. Karena itulah ketika tulisan tentang Sumatera Barat justru menampilkan pertumbuhan sebagai faktor yang tidak krusial dan mengalihkan fokus hanya pada indikator sosial, analisis tersebut menjadi timpang.

Lebih parah lagi, argumentasi semacam ini cenderung mengabaikan fakta bahwa indikator sosial di berbagai negara justru melonjak ketika pertumbuhan berada di puncaknya. Apa yang terjadi di Sumbar hari ini bukanlah teka-teki yang memerlukan pembacaan teori-teori berat. Masalah di Sumbar adalah masalah klasik, stagnasi ekonomi berlarut-larut, investasi yang kurang ekspansif, kapasitas fiskal terbatas, dan struktur ekonomi yang tidak mengalami transformasi berarti. Dalam kondisi seperti itu, sulit berharap peningkatan kesejahteraan akan berkelanjutan.

Seluruh teori pembangunan modern sepakat bahwa transformasi struktural, pergeseran tenaga kerja dari sektor produktivitas rendah ke sektor produktivitas tinggi, hanya mungkin terjadi lewat pertumbuhan. Negara-negara di Asia Timur menunjukkan hal tersebut secara gamblang. Sebaliknya, negara yang gagal membangun pertumbuhan tinggi pada masa transisinya hampir selalu stagnan dalam jangka panjang. Kebijakan, institusi, dan desain sosial apa pun tidak akan berhasil tanpa basis ekonomi yang terus berekspansi. Karena itu mengaburkan urgensi pertumbuhan adalah pengingkaran terhadap seluruh bukti empiris dan komparatif.

Kekeliruan paling mendalam dari artikel tersebut adalah cara memaknai teori perkembangan ekonomi seolah-olah pertumbuhan dan kesejahteraan hanya bersaing satu sama lain. Padahal dalam literatur ekonomi kontemporer, dikotomi semacam itu telah lama dianggap tidak produktif. Pertumbuhan diperlukan karena ia menciptakan ruang fiskal, peluang kerja, dan inovasi, tetapi tidak otomatis menciptakan keadilan. Maka solusinya bukan menolak pertumbuhan, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan didesain agar inklusif. Menyerang pertumbuhan karena distribusinya buruk sama saja dengan menyalahkan mesin karena sopirnya tidak cakap.

Lebih dari itu, mengutip teori secara parsial lalu menggunakannya untuk menjelaskan kondisi ekonomi yang stagnan adalah praktik yang kurang bertanggung jawab secara akademik. Hal tersebut memberi kesan ilmiah, tetapi tidak berdiri pada konsistensi logika dan data. Kritik semacam ini bukan soal perbedaan pandangan, melainkan soal akurasi. Jika teori-teori pembangunan besar dibaca sepintas dan digunakan untuk memperkuat narasi politik bahwa “kesejahteraan tidak membutuhkan pertumbuhan tinggi,” maka bukan hanya argumen akademiknya yang melemah, tetapi juga risikonya di mana publik disuguhi analisis yang menutup mata terhadap keharusan transformasi ekonomi.

Kesejahteraan tidak muncul begitu saja, tapi harus dipicu oleh dinamika yang transformatif. Semua negara maju memulai babak baru kesejahteraannya dengan mesin pertumbuhan yang menyala kencang. Pertumbuhan memang bukan tujuan akhir, tetapi ia adalah batu loncatan yang tak dapat digantikan. Tanpa pertumbuhan, negara akan kekurangan daya untuk membiayai pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta seluruh prasyarat kesejahteraan modern. Maka mengabaikan pentingnya pertumbuhan dalam analisis pembangunan bukan hanya keliru secara konsep, tetapi juga berpotensi merugikan publik dalam memahami arah kebijakan ekonomi yang diperlukan.

Sumatera Barat membutuhkan pertumbuhan kuat sebagai pemicu awal transformasinya. Kritik yang membangun harus diarahkan ke sana: bagaimana memperluas basis industri, mendorong investasi, memperbaiki tata kelola, meningkatkan kapasitas fiskal, dan menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Menempatkan pertumbuhan sebagai isu sekunder hanya akan membuat daerah ini berjalan di tempat. Jika teori pembangunan ingin digunakan, gunakanlah secara utuh, bukan secara selektif. Dan jika kesejahteraan ingin dikejar, langkah pertama tetap satu, menyalakan kembali mesin pertumbuhan.

Di sisi lain, tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Barat juga perlu dibaca secara hati-hati. IPM yang relatif tinggi lebih banyak mencerminkan keberhasilan historis daerah ini dalam pendidikan dasar dan menengah, serta kuatnya modal sosial masyarakat Minangkabau yang sejak lama menempatkan literasi sebagai nilai penting. Namun kemajuan ini tidak secara otomatis mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang memadai.

Banyak daerah di dunia memiliki capaian pendidikan dan kesehatan yang baik, tetapi masih bergulat dengan peluang kerja yang terbatas, pendapatan stagnan, dan ekonomi daerah yang tidak tumbuh dinamis. Di Sumbar, mismatch ini terlihat jelas, pendidikan masyarakat meningkat, tetapi kesempatan ekonomi yang dapat menyerap keahlian tersebut tidak berkembang secepat kebutuhan. Hasilnya adalah stagnasi produktivitas dan migrasi besar-besaran tenaga terdidik keluar daerah.

Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah rakyat Sumatera Barat sungguh sejahtera hanya karena IPM-nya tinggi? Ukuran kesejahteraan yang lebih nyata, kemampuan menciptakan pendapatan, kapasitas fiskal daerah, kualitas lapangan kerja, dinamika investasi, dan struktur industri, justru menunjukkan bahwa Sumbar tertinggal dibanding banyak provinsi lain yang memiliki IPM serupa. Dengan ekonomi yang tumbuh di bawah potensi, masyarakat merasakan tekanan biaya hidup, rendahnya mobilitas vertikal, serta minimnya eskalator ekonomi yang mampu mengangkat kualitas hidup secara material.

Inilah bukti paling jelas bahwa IPM yang tinggi tanpa pertumbuhan tidak cukup untuk menciptakan kesejahteraan riil. Kesejahteraan bukan hanya soal pendidikan dan umur panjang, tetapi juga tentang apakah masyarakat memiliki peluang ekonomi yang memungkinkan mereka hidup lebih bermartabat, lebih aman, dan lebih makmur.

Fenomena brain drain yang kian terasa di Sumatera Barat memperkuat argumen bahwa pertumbuhan ekonomi yang buruk pada akhirnya menjadi jebakan sosial yang mahal. Setiap tahun, lulusan terbaik daerah ini, dokter, insinyur, analis data, akademisi, hingga profesional kreatif, lebih memilih merantau ke Jakarta, Batam, Pekanbaru, atau bahkan keluar negeri karena daerah asal mereka tidak mampu menyediakan peluang kerja yang sesuai dengan kapasitas dan aspirasi mereka.

Migrasi talenta ini bukan sekadar mobilitas biasa, tetapi cermin bahwa Sumbar gagal menciptakan ekosistem ekonomi yang mampu menahan SDM unggulnya sendiri. Ketika mereka pergi, daerah kehilangan energi produktif, inovasi, dan potensi penggerak pertumbuhan yang sangat dibutuhkan. Akibatnya, stagnasi semakin menguat, ekonomi yang tidak tumbuh membuat talenta pergi, dan talenta yang pergi membuat ekonomi semakin sulit tumbuh. Ini adalah lingkaran setan yang hanya dapat diputus melalui kebijakan pertumbuhan yang ambisius dan transformasi struktural yang nyata. (oleh: Ronny P. Sasmita Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)

DAS
Opini

Padang, hantaranCo–Forum DAS adalah wadah koordinasi dan komunikasi…