Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto pada peringatan Hari Pahlawan lalu masih menyisakan polemik di tengah masyarakat. Dalam upacara di Istana Negara itu, Soeharto mendapat status pahlawan nasional di bidang perjuangan dan politik. “Soeharto menonjol sejak era kemerdekaan sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta. Soeharto memimpin pelucutan senjata Jepang di Kota Baru pada 1945.” Demikian narasi singkat yang disampaikan pemandu upacara.
Sejak awal, masyarakat sudah terpolarisasi dalam menyikapi status kepahlawanan Soeharto. Bahkan polemiknya sudah muncul sejak 2008 atau sesaat setelah beliau meninggal. Pihak yang mendukung mengingatkan jasa “luar biasa” Soeharto sejak masa perjuangan melawan kolonial sampai menjadi Presiden. Jasa besarnya selama memimpin negara terutama dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Proyek SD Inpres, pemberantasan buta huruf, keluarga berencana, pembangunan infrastruktur, hingga swasembada pangan, akan masuk sebagai daftar pencapaian penting Soeharto.
Sebaliknya, mereka yang kontra menilai Soeharto tidak layak dijadikan pahlawan nasional. Ia adalah diktator yang tidak hanya telah membungkam demokrasi, tetapi juga terkait dan mesti bertanggung jawab atas banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia dan bahkan kejahatan kemanusiaan, termasuk pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh komunis pada tahun 1965-1966. Dalam hal ini, Soeharto seringkali dibandingkan dengan beberapa diktator dunia lainnya seperti Idi Amin (Uganda), Pol Pot (Kamboja), dan Josef Stalin (Uni Soviet).
Soeharto juga dianggap terkait dan terlibat dalam kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan melibatkan keluarganya. Gerakan Reformasi 1998 yang tak hanya menuntutnya mundur dari jabatan presiden, tetapi juga diadili, antara lain karena alasan KKN. Perihal tuduhan sebagai pemimpin kleptokrat, Soeharto disejajarkan dengan pemimpin korup abad ke-20 lainnya, seperti Ferdinand Marcos (Filipina), Mobutu Sese Seko (Kongo), Sani Abacha (Nigeria), dan Slobodan Milosevic (Serbia).
Keputusan Politik
Polemik seputar kepahlawanan Soeharto tentulah mencerminkan dinamika pluralitas pendapat dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang peran kesejarahannya, khususnya selama menjadi presiden. Memimpin negara sebesar Indonesia selama 32 tahun dengan “tangan besi” sudah tentu banyak kebijakan dan perilaku kekuasaannya menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya pada masanya, tetapi juga periode-periode setelahnya.
Hal serupa sebenarnya juga bisa berlaku untuk tokoh-tokoh besar lainnya. Asumsinya, tokoh dengan kekuasaan sangat besar (apalagi nyaris tanpa kekuatan kontrol-pengimbang) tidak hanya memiliki jasa yang besar, tetapi sering juga disertai dosa-dosa yang besar. Sebelumnya dan sampai sekarang, kurang apa silang pendapat dan pemahaman tentang kebijakan dan perilaku kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin, namun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada era Reformasi menetapkannya sebagai pahlawan nasional. Jasa-jasa Bung Karno, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan dan simbol pemersatu bangsa, lebih ditonjolkan, sekalipun tidak melupakan kesalahan-kesalahannya.
Bagaimanapun pemberian gelar pahlawan nasional merupakan keputusan politik yang tidak hanya bersifat subyektif sesuai kepentingan pemerintah berkuasa, tetapi juga dapat menjadi suatu simbol integrasi nasional. Pada masa SBY juga, mantan Perdana Manteri Mohammad Natsir dan Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara yang notabene kemudian terlibat “pemberontakan” PRRI dan pada masanya menjadi “musuh“ politik pemerintah (Soekarno), juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Selain itu, mempahlawankan tokoh-tokoh besar yang sebelumnya sudah dilekatkan “baju tebal” juga dapat mencerminkan watak bangsa sendiri yang dalam batas tertentu mungkin tidak mudah dipahami. Dulu ketika mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir meninggal dalam kondisi sangat miris dengan status tahanan (dipenjara tanpa pengadilan) rezim Demokrasi Terpimpin dan Soekarno langsung memberinya gelar pahlawan nasional, peristiwa “ajaib” itu tentu tidak bisa dipahami dengan pendekatan politik “garis lurus.” Mungkin demikian pula kini ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan kehormatan tertinggi secara simultan kepada Soeharto, sebagai mantan penguasa Orde Baru, dan Marsinah, sebagai “korban” sistem pada masa itu, suatu cara pandang normatif untuk memahami gejala “aneh” ini tidak bisa dipakaikan.(Oleh: Israr Iskandar Dosen Sejarah FIB Unand)







