Sumbar

Pemprov Sumbar Tata Ulang Instrumen Penerimaan Daerah

0
×

Pemprov Sumbar Tata Ulang Instrumen Penerimaan Daerah

Sebarkan artikel ini
Pemprov

Padang, hantaran.Co–Kebijakan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat telah memberikan tekanan besar terhadap ketahanan fiskal daerah, terutama bagi daerah yang masih sangat mengandalkan sokongan dana pusat seperti Sumatera Barat (Sumbar). Kondisi ini kemudian memaksa daerah bergerak cepat mencari sumber pendapatan baru agar roda pemerintahan tetap berjalan dan kapasitas fiskal tidak tergerus. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) misalnya, merespons kebijakan ini dengan melakukan eksistenfikasi pendapatan, di mana Pemprov mulai menata ulang seluruh instrumen penerimaan yang selama ini dinilai belum tergarap maksimal.

“Kami tidak punya pilihan selain memperkuat sumber-sumber pendapatan. Daerah harus melaksanakan eksistenfikasi pendapatan,” kata Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar, Rosail Akhyari Pardomuan kepada Haluan, beberapa waktu yang lalu.

Rosail menjelaskan, selama ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumbar sangat bergantung pada sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Namun tingkat kepatuhan masyarakat dinilai belum memadai. Berdasarkan data BPKAD, hanya 58 persen pemilik kendaraan di Sumbar yang tertib membayar pajak. “Artinya, hanya 58 dari 100 orang yang membayar pajak kendaraan di Sumbar,” ujarnya.

Untuk mengoreksi kondisi tersebut, Pemprov menjalankan program pemutihan pajak kendaraan yang berlangsung hingga akhir 2025. Kebijakan ini terbukti efektif mendongkrak pendapatan daerah. Tingkat kepatuhan pun kini meningkat menjadi 74 persen.

Rosail menegaskan, keberhasilan itu penting dijaga agar tidak sekadar menjadi tren sesaat. “Memang ada anggapan pemutihan memberi keringanan kepada pengemplang. Tapi pada sisi lain, masyarakat yang taat sekarang memiliki rekam jejak bersih dan termotivasi untuk tetap membayar pajak tepat waktu,” katanya.

Revisi Aturan Pajak Air Permukaan

Selain sektor kendaraan bermotor, Pemprov juga menyasar Pajak Air Permukaan (PAP) sebagai sumber pendapatan baru, yang potensinya dinilai besar namun selama ini mengalir ke daerah lain.

Rosail mencontohkan PAP dari Danau Koto Panjang yang hingga kini lebih banyak dinikmati oleh provinsi tetangga. Berdasarkan Unadang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU), pajak dibayarkan di wilayah pemanfaatan air, bukan wilayah sumber air. Posisi ini membuat Sumbar kehilangan ruang penerimaan. “Kami sedang mendorong revisi ketentuan itu, supaya Sumbar mendapat porsi yang lebih adil,” ujarnya.

Terpisah, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumbar, Syefdinon menegaskan bahwa Pemprov kini juga tengah melakukan pemetaan mendalam untuk mengoptimalkan PAP, terutama dari penggunaan air permukaan oleh sektor perkebunan sawit. “Potensi optimalisasi pajak air permukaan sekarang sedang dikaji oleh Dinas Sumber Daya Air dan Bina Konstruksi (SDA-BK),” ujar Syefdinon.

Ia mengatakan, perkebunan sawit merupakan salah satu sektor yang paling banyak memanfaatkan air permukaan, mulai dari irigasi kebun, pembasahan gambut, hingga kebutuhan teknis lainnya. Pemanfaatan ini membuka ruang pungutan PAP yang selama ini belum dimaksimalkan.

“Kami ingin memastikan pemanfaatan air oleh pelaku usaha mengikuti prinsip keadilan fiskal. Sumber daya publik yang digunakan untuk kepentingan komersial harus memberikan kontribusi kepada daerah,” katanya.

Ia menyebutkan bahwa Sulawesi Barat telah lebih dulu menerapkan PAP untuk sektor sawit dan kini menikmati peningkatan PAD yang signifikan. Sumbar akan mulai menerapkan langkah serupa setelah kajian teknis rampung. “Pajak air permukaan dari perkebunan sawit akan menjadi tumpuan baru, apalagi di tengah pemangkasan TKD,” tutur Syefdinon

Pemprov menargetkan beberapa skema penerimaan baru dapat mulai dijalankan pada 2025. Dengan eksistenfikasi pendapatan sebagai strategi utama, Pemprov Sumbar berharap dapat memperkuat fondasi fiskal yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Dengan beban APBD yang terus meningkat dan transfer pusat yang mengecil, langkah agresif untuk menggali potensi pendapatan daerah dianggap bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Pemangkasan TKDP

emerintah pusat akan memangkas hingga Rp2,6 triliun anggaran TKD untuk Sumbar pada tahun anggaran 2026 mendatang. Berdasarkan data yang diperoleh BPKAD Sumbar, dari 19 kabupaten/kota di Sumbar, Kota Padang menjadi daerah dengan jumlah pemotongan tertinggi, yakni sebesar Rp371 miliar. Diikuti Kabupaten Agam sebesar Rp166 miliar, Kabupaten Pasaman Barat sebesar Rp1228 miliar, dan Kabupaten Limapuluh Kota sebesar Rp125 miliar. Di sisi lain, Kabupaten Pesisir Selatan menjadi daerah dengan jumlah pemangkasan TKD terkecil, yakni hanya Rp41 juta.

Sementara itu, untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar, pemangkasan TKD tahun anggaran 2026 tercatat mencapai Rp533 miliar. “Apabila ditotal, secara keseluruhan, untuk 19 kabupaten/kota plus Pemprov Sumbar, itu pemotongannya mencapai Rp2,6 triliun. Angka yang jelas tidak kecil,” kata Kepala BPKAD Sumbar, Rosail Akhyari Pardomuan kepada Haluan, Jumat (3/10) lalu.

Ia mengakui bahwa kebijakan pemangkasan TKD ini akan berdampak cukup besar bagi daerah. Terlebih karena pemotongan tersebut menyasar seluruh komponen TKD, mulai dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID), hingga Dana Desa.

Menurut Rosail, yang paling berat dan membebani adalah pemotongan terhadap DAU, khususnya DAU yang Tidak Ditentukan Penggunaannya. Hal ini tak terlepas dari skema peruntukan DAU, di mana sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022, alokasi DAU untuk suatu daerah bergantung pada luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan angka gini ratio.

“Artinya, semakin rendah tingkat kemiskinan dan semakin baik angka gini ratio, maka DAU yang diterima suatu daerah akan semakin kecil. Pun sebalik, semakin tinggi tingkat kemiskinan dan semakin buruk angka gini ratio, maka besar pula alokasi DAU yang diterima,” katanya.

Dalam hal ini, persoalan muncul lantaran selama ini DAU sebagian besar dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sementara sisanya digunakan untuk pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang mencakup sejumlah sektor, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sosial, serta ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat (trantibumlinmas).

Jika berkaca pada jumlah pemotongan yang akan dilakukan pemerintah pusat tersebut, maka ia khawatir DAU yang akan diterima daerah tahun depan hanya akan cukup untuk membayar gaji pegawai saja. “Nah, akhirnya mau tidak mau anggaran untuk pelaksanaan SPM akan diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang mana, bagi sebagian besar daerah ini jelas amat memberatkan,” tuturnya.