Berita

Menafsir “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser” di Antara Beban dan Gamang

4
×

Menafsir “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser” di Antara Beban dan Gamang

Sebarkan artikel ini
Pertunjukan dari Siska Aprisia dengan karyanya “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser” pada Festival MenTari #5 “Turun dari Langit” di Gedung Hoerijah Adam ISI Padangpanjang, Minggu (1611) kemarin. TENGKU
Pertunjukan dari Siska Aprisia dengan karyanya “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser” pada Festival MenTari #5 “Turun dari Langit” di Gedung Hoerijah Adam ISI Padangpanjang, Minggu (1611) kemarin. TENGKU

PADANG, HANTARAN.Co – Kedua tangannya meraba-raba bayang yang tak tertembus. Seolah ia dalam kurungan – dikurungi pikiran dalam beban-beban yang menumpuk. Tatap matanya liar dan gelisah. Sedih, pasrah, takut, tahu, siap, hanyalah kata-kata yang saling melebur.

Sepenggal pengantar “Tubuh Ibu; Sungai yang Bergeser” yang ditubuhkan Siska Aprisia. Pertunjukan itu dimainkan pada Festival MenTari #5 “Turun dari Langit” di Gedung Hoerijah Adam ISI Padangpanjang, Minggu (16/11/2025) kemarin.

Entah beban entah gamang, agaknya di awal Siska memulai gerak-geriknya dengan demikian. Sorot lampu yang menajam ke tubuhnya di pusat panggung, Siska mempreteli bantal yang dipasangi ke wajah dan menutup matanya. Dua sudut bantal di atas kepalanya seperti sedang bertingkuluk tanduk – apakah itu memang ada dalam bagian pertunjukan, atau karena ketidaksengajaan saja?

Siska yang seperti melihatkan dirinya sebagai sosok ibu, perlahan mulai mengeja geraknya – mengayun tangan dan bersilang langkah simpia – dalam aliran sungai yang menjelma ke dalam musik pertunjukannya. Ia ingin mengaliri tubuhnya dari dalam jeratan bayang yang membeban.

Dalam gerak-gerak yang teatrikal, Siska mencoba menembus bayangnya sendiri. Tafsiran itu agaknya didukung dari pertunjukan Siska yang cukup dominan bermain di tengah panggung pada awal pertunjukan, sebelum menjarah sisi-sisi panggung.

Ia dikitari bebiruan panggung – efek lighting – seakan berada di sungai. Di panggung juga ada tumpukan tanah liat yang seperti ‘bunga panggung’, namun di menit-menit yang menyusul tanah liat itu bagian dari Siska Aprisia itu sendiri.

Silek Sunua atau Ulu Ambek yang sepertinya menjadi basis ketubuhan Siska (menurut saya), mampu memberi perspektif bagi gagasan pertunjukannya. Yang terlihat pandang bukanlah khasnya gerak Ulu Ambek, tapi Ulu Ambek itulah yang menggiring pembacaan kepada inti pertunjukan yang digarap.

Pembacaan ini hanyalah kacamata awam saya yang liar menafsir kasar “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser”. Tak ada pembacaan mendalam dari gaya surealis ataupun tanda-tanda dari penafisran ala Michael Riffaterre dengan semiotiknya.

Penafsiran ini hanyalah pembacaan sederhana saya dari segala instrumen yang hadir dalam karya “Tubuh Ibu, Sungai yang Bergeser”, baik dari sinopsis, gerak, artistik, musik, dan hal-hal lain. Karya ini seperti sedang mengetengahkan tentang perjalanan yang gagap, meski perjalanan itu dirasa pasti akan dilalui setiap perempuan yang akan menjadi ibu. (h/jum)