Padang, hantaran.Co–Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Sumatera Barat (Sumbar) mencatat, Sumbar saat ini memiliki 29.928,75 hektare lahan gambir dengan total produksi 18.679,12 ton serta produktivitas rata-rata mencapai 4.971 kilogram per hektare.
Namun di balik capaian itu, tersimpan pekerjaan besar. Sebab, potensi pengembangan lahan gambir yang belum tergarap mencapai 20.427,5 hektare, terbesar di antara komoditas perkebunan rakyat lainnya. Artinya, nyaris separuh potensi ekonomi gambir Sumbar belum dioptimalkan.
Kepala Distanhorbun Sumbar, Afniwarman menilai kondisi ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Menurutnya, gambir adalah komoditas khas Sumbar dengan pasar yang terus terbuka, namun persoalan produktivitas dan hilirisasi masih menjadi hambatan utama.
“Gambir Sumbar bukan hanya sekadar komoditas lama yang dibiarkan berjalan apa adanya. Ia bisa menjadi industri besar dengan nilai ekonomi tinggi, tapi kita belum mengeksekusi potensinya secara maksimal,” ujarnya kepada Haluan, Senin (17/11/2025).
Dari enam daerah penghasil gambir, Kabupaten Limapuluh Kota menjadi sentra paling dominan. Dengan luasan lahan mencapai 18.602,75 hektare, daerah ini menghasilkan 10.824 ton gambir per tahun atau lebih dari 57 persen dari total produksi provinsi. Kecamatan Kapur IX dan Pangkalan menjadi kawasan paling produktif.
Afniwarman menyebut dominasi ini wajar, tetapi bukan tanpa catatan. Menurutnya, produktivitas di sejumlah kecamatan masih rendah dan membutuhkan pembaruan teknik pengolahan. “Luas lahan memang besar, tapi kualitas gambir dan produktivitasnya tidak merata. Ini salah satu PR yang sedang kami kejar melalui pembinaan teknis,” ujarnya.
Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) berada di posisi kedua dengan 10.517,5 hektare lahan dan7.559,24 ton produksi. Namun angka produktivitas antarkecamatan sangat bervariasi. Ada yang mencapai lebih dari 800 kg/ha, ada pula yang tak sampai 50 kg/ha.
Ketimpangan tersebut mencerminkan perlunya standardisasi pengolahan dan manajemen panen. “Ada kecamatan yang sudah bagus, tapi ada juga yang masih perlu pembinaan intensif. Hambatan utama ada pada proses pengolahan primer,” katanya.
Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Sijunjung, dan Kota Padang memang tidak memiliki kontribusi sebesar dua kabupaten utama, namun beberapa wilayah justru mencatat produktivitas tinggi, seperti Sijunjung yang mencapai 900 kg/ha atau jauh di atas rata-rata provinsi.
Menurut Afniwarman, capaian daerah kecil ini menunjukkan bahwa kualitas tidak selalu bergantung pada luas lahan. “Ada sentra-sentra kecil yang justru lebih produktif karena petani sudah menguasai teknik olahan yang tepat,” ujarnya.
Potensi pengembangan gambir terbesar berada di Limapuluh Kota sendiri mencapai 19.500 hektare. Selain itu, Pessel, Pasaman, dan Padang juga memiliki lahan yang bisa dikembangkan menjadi sentra baru. “Kalau potensi ini digarap, Sumbar bisa menjadi pusat gambir dunia. Tapi tanpa investasi dan teknologi, semua itu tinggal angka di atas kertas,” ujar Afniwarman.
Ia menuturkan, pengembangan gambir membutuhkan strategi baru. Mulai dari penguatan pembibitan, modernisasi pengolahan, hingga membangun industri turunan seperti tanin, kosmetik, bahan penyamak, dan farmasi.
Di sisi lain, mutu gambir antardaerah masih berbeda-beda, sehingga harga jual juga tidak stabil. Sebagian besar gambir Sumbar pun masih dijual dalam bentuk bahan mentah, yang membuat nilai tambah hilang di tingkat petani.
Oleh sebab itu, hilirisasi sebagai persoalan paling krusial. Akses jalan menuju sentra produksi, terutama di Kapur IX, Pangkalan, dan Tarusan juga menjadi kendala dalam menjaga mutu produk dari kebun hingga pasar. “Selama ini kita terlalu fokus menjual gambir mentah. Padahal nilai ekonomi terbesar ada pada produk olahan. Itu yang harus kita ubah,” katanya.
Afniwarman mengingatkan bahwa potensi besar bukan jaminan tanpa gerakan nyata. Data luas lahan dan produksi yang cukup tinggi harus diikuti keberanian daerah membuka ruang investasi, mendorong hilirisasi, dan menguatkan pembinaan teknis kepada petani.
“Data ini memberi pesan penting: kita punya kekuatan besar, tapi belum kita gerakkan sepenuhnya. Jika ingin gambir menjadi industri strategis, langkah-langkah konkret harus dimulai sekarang,” katanya.
Dengan potensi puluhan ribu hektare yang belum dikembangkan, gambir Sumbar berada pada titik krusial, antara tetap menjadi komoditas tradisional atau bertransformasi menjadi industri unggulan dengan nilai ekonomi global.
Kembali Diekspor ke India
Sumbar akan kembali mengekspor satu kontainer gambir ke India pada Selasa (18/11) mendatang. Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Budi Santoso bersama Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah dijadwalkan hadir langsung dalam pelepasan ekspor tersebut.
Gubernur Mahyeldi menyambut positif keberlanjutan ekspor gambir tersebut. Ia menilai, peningkatan permintaan luar negeri menjadi sinyal pulihnya pasar global terhadap salah satu komoditas unggulan Sumbar. “Ekspor ini menunjukkan permintaan global mulai pulih. Semoga ini menjadi pertanda baik bagi pengembangan pasar gambir ke depan,” ujar Mahyeldi, Minggu (16/11/2025).
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumbar, Novrial mengatakan, tren ekspor gambir menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir. Pada 2024, ekspor mencapai 13.482 ton dengan nilai Rp574,7 miliar, naik dibandingkan 2023 yang berjumlah 11.865 ton.
Menurut Novrial, potensi ekspor masih besar karena Sumbar memasok sekitar 80 persen kebutuhan gambir dunia. Ia berharap kehadiran Menteri Perdagangan dalam kegiatan pelepasan ekspor ini ikut mempercepat perluasan pasar dan penataan tata niaga gambir nasional. “Ini penting agar kita tidak hanya bergantung pada pasar India yang saat ini menjadi tujuan utama ekspor Indonesia,” ujarnya.







