Padang, hantaran.Co–Ekonom senior Prof. Syafruddin Karimi menilai, rendah pertumbuhan ekono
mi Sumbar yang kerap berulang merupakan sinyal bahwa pola kerja pemda tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan struktural.Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) pada triwulan III tahun 2025 masih berada pada angka 3,36 persen.
“Kita tidak bisa lagi memakai kacamata lama. Jika tidak ada perubahan cara pandang, Sumbar akan makin jauh tertinggal,” ujarnya, Senin (17/11/2025).
Prof. Syafruddin menilai persoalan paling mendasar terletak pada rendahnya efisiensi investasi. Ia menekankan bahwa Sumbar harus berani melakukan lompatan dengan menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan meningkatkan rasio pembentukan modal. Pemda juga perlu mendorong investasi yang cepat menghasilkan output dan menetapkan target pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang progresif hingga 2029.
Tanpa keberanian melakukan terobosan seperti pemangkasan proses perizinan ekspansi menjadi hanya 14 hari dan memusatkan dukungan pada industri pengolahan pangan halal, logistik dingin, serta pariwisata berbasis iven yang menetes langsung ke UMKM, pertumbuhan ekonomi akan tetap berada pada jalur yang landai.
Di lain pihak, ia mengingatkan bahwa insentif fiskal tidak boleh lagi diberikan tanpa ukuran produktivitas yang jelas. Proyek yang menambah kapasitas nyata, memiliki kontrak pemasaran, serta lulus sertifikasi mutu harus menjadi prioritas pendanaan. “Dengan disiplin seperti itu, setiap rupiah investasi akan menghasilkan output lebih besar, ICOR turun, dan kontribusinya ke pertumbuhan bisa bertambah poin demi poin setiap tahun,” kata Guru Besar Ekonomi Pembangunan Unand itu.
Selain investasi, Prof. Syafruddin juga mengkritik lambatnya perputaran uang pemerintah di tingkat ekonomi lokal. Ia menilai belanja daerah masih terjebak dalam rutinitas administratif, bukan menjadi penggerak ekonomi sebagaimana mestinya. Ia menerangkan, uang publik harus berputar cepat agar sektor-sektor produktif dapat bergerak. Pemecahan paket menjadi skala kecil, pencairan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) harian, pembayaran penyedia dalam 7–10 hari, serta target serapan belanja modal minimal 70 persen pada November adalah langkah yang harus dijalankan, dan bukan sekadar wacana. “Saldo kas pemerintah yang mengendap adalah pemborosan kesempatan. Uang itu harus bekerja menggerakkan transaksi lokal, bukan tidur di rekening,” katanya.
Pada sisi pembiayaan, ia menekankan perlunya pendekatan baru melalui revenue-based financing dan supply-chain financing yang berbasis purchase order pemerintah, ritel, hotel, dan pabrik. Model pembiayaan ini memungkinkan UMKM mendapat akses dana dengan pencairan cepat dan risiko lebih kecil.
Ia juga menargetkan pertumbuhan kredit UMKM 10–12 persen per tahun dengan tingkat NPL tetap terjaga di bawah 4 persen. Menurutnya, bila perbankan hanya fokus pada keamanan kredit, ekonomi tidak akan bergerak signifikan.
Prof. Syafruddin juga menyoroti lemahnya mekanisme pemantauan kinerja ekonomi. Ia mendorong pembentukan war room yang bekerja berbasis data mingguan, bukan laporan bulanan yang datang terlambat. Indikator seperti utilitas pabrik, tonase barang di fasilitas dingin, tingkat hunian hotel, arus penumpang di BIM, transaksi digital UMKM, proporsi belanja lokal dalam pengadaan pemerintah, serta ekspor dan penjualan luar daerah pun harus dipantau rutin.
Setiap indikator harus memiliki penanggung jawab yang jelas, dan bila satu indikator meleset, tindakan korektif diberlakukan dalam 72 jam. “Ganti pemasok, percepat pembayaran, tambahkan jam operasi, atau beri relaksasi izin. Respons cepat adalah kunci menjaga lintasan pertumbuhan,” katanya.
Ia menilai evaluasi objektif menjadi semakin penting karena perlambatan ekonomi bukan hanya masalah angka, tetapi ikut menggerus kepercayaan pelaku usaha dan mempersempit ruang fiskal. Oleh karena itu, perlu pemetaan hambatan secara jernih, dengan sekda memimpin eksekusi fiskal, DPMPTSP memastikan perizinan dan investasi berjalan, dinas transportasi dan perdagangan mengelola arus logistik, serta perbankan memastikan pembiayaan benar-benar menempel pada transaksi riil.
Tiga blok metrik, arus kas pemerintah dan kecepatan pembayaran, produktivitas rantai pasok dan pabrik, serta serapan pasar di sektor-sektor utama harus diverifikasi mingguan. Jika tidak bergerak, langkah korektif seperti reposisi anggaran mikro, percepatan green-lane izin, dan kontrak payung pro-lokal harus segera dijalankan. “Yang kita butuhkan bukan klaim keberhasilan, tapi hasil terukur. Jika Sumbar ingin mencapai pertumbuhan 7,3 persen pada 2029, cara kerja kita harus berubah sekarang,” tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) pada triwulan III tahun 2025 tumbuh sebesar 3,36 persen year-on-year (y-on-y). Ironisnya, pertumbuhan ini menjadi yang terendah kedua di Pulau Sumatera.
Kepala BPS Sumbar, Sugeng Arianto menuturkan, perekonomian Sumbar triwulan III tahun 2025 dihitung berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai 88,31 triliun rupiah dan atas harga konstan 2010 mencapai 51,65 triliun rupiah. “Ekonomi Sumbar triwulan III/2025 terhadap triwulan II/2025 secara quarter-to-quarter (q-to-q) mengalami kontraksi sebesar 0,10 persen,” kata Sugeng dalam keterangan resmi, Jumat (7/11).







