PESISIR SELATAN, HANTARAN.Co – Gagasan perubahan nama Kabupaten Pesisir Selatan kembali mencuat. Kali ini datang dari tokoh muda Pesisir Selatan, Hidayatul Fikri, yang mengusulkan agar nama daerah itu diubah menjadi Kabupaten Ranah Pasisia. Menurutnya, wacana ini bukan sekadar pergantian nama, tetapi gerakan kebudayaan untuk mengembalikan identitas masyarakat pesisir yang telah hidup selama berabad-abad.
Hidayatul menjelaskan bahwa istilah Ranah Pasisia memiliki makna filosofis yang jauh lebih dalam daripada sekadar penanda geografis. Dalam tradisi Minangkabau, ranah berarti tanah kelahiran atau tempat berpijak, sedangkan pasisia merujuk pada kawasan pesisir sebagai ruang hidup masyarakat. Kombinasi keduanya menggambarkan keterikatan kuat antara manusia, alam, laut, serta budaya yang membentuk karakter masyarakat di sepanjang pesisir barat Sumatera.
Ia mengungkapkan bahwa secara historis, istilah Ranah Pasisia telah digunakan masyarakat lokal jauh sebelum sistem pemerintahan modern diperkenalkan. Sejak abad ke-17, wilayah Pesisir Selatan merupakan simpul penting dalam jalur perdagangan maritim. Pelabuhan tradisional seperti Salido dan Inderapura pernah menjadi pusat interaksi berbagai etnis dan bangsa, mulai dari Minangkabau, Aceh, Bengkulu, hingga pedagang dari India dan Arab. Dalam percakapan dan sastra lisan masyarakat masa itu, istilah Ranah Pasisia sangat akrab digunakan.
Namun, seiring hadirnya sistem administrasi kolonial Belanda, istilah asli tersebut perlahan tergantikan oleh nama administratif “Pesisir Selatan” yang kemudian diadopsi hingga saat ini.
“Kita ingin menghidupkan kembali nama yang lahir dari rahim budaya kita sendiri. Ranah Pasisia adalah sebutan asli nenek moyang kita. Mengembalikannya berarti menegaskan sejarah dan jati diri kita sebagai masyarakat pesisir,” ujar Hidayatul Fikri, Jumat (14/11/2025).
Ia menambahkan bahwa nama daerah memiliki pengaruh besar terhadap identitas sosial masyarakat. Nama yang kuat dan berakar pada sejarah lokal mampu menumbuhkan rasa memiliki, kebanggaan, serta semangat kolektif dalam membangun daerah. Ia mencontohkan perubahan nama yang dilakukan beberapa daerah di Indonesia untuk mempertegas identitas, seperti Kabupaten Jayawijaya menjadi Kabupaten Wamena, serta Kutai yang kemudian berubah menjadi Kutai Kartanegara.
Lebih jauh, Hidayatul menilai bahwa nama Ranah Pasisia juga memiliki nilai strategis dalam pembangunan daerah, terutama sektor pariwisata dan kebudayaan. Citra Ranah Pasisia diyakininya dapat memperkuat promosi daerah sebagai destinasi wisata bahari dan budaya yang khas, termasuk kawasan wisata Carocok, Pulau Cingkuak, hingga pesona Mandeh.
“Nama ini bukan sekadar simbol. Ini adalah sarana membangun citra baru sekaligus membangkitkan kebanggaan generasi muda terhadap akar budaya mereka,” katanya.
Hidayatul berharap gagasan ini dapat disikapi sebagai wacana konstruktif dan menjadi bahan diskusi publik yang melibatkan tokoh adat, akademisi, sejarawan, serta seluruh lapisan masyarakat sebelum diambil keputusan apa pun.
“Kita ingin perubahan ini menjadi gerakan kebudayaan, bukan sekadar keputusan administratif. Kabupaten Ranah Pasisia dapat menjadi simbol kebangkitan masyarakat pesisir yang kuat, berakar pada sejarah, dan bangga dengan identitasnya,” pungkasnya. (h/kis)







