Pendidikan

Menumbuhkan Jiwa Sehat di Sekolah: Strategi Membangun Kesehatan Mental Pelajar dari Dini

2
×

Menumbuhkan Jiwa Sehat di Sekolah: Strategi Membangun Kesehatan Mental Pelajar dari Dini

Sebarkan artikel ini
DESI SAGITA YUSUF, S.P (Kepala SDN 16 Campago Ipuh Kota Bukittinggi)

Oleh : DESI SAGITA YUSUF, S.Pd (Kepala SDN 16 Campago Ipuh Kota Bukittinggi)

Isu kesehatan mental pelajar semakin mendapat perhatian beberapa tahun terakhir, karena meningkatnya tekanan akademik, sosial, maupun pengaruh teknologi digital. Siswa tidak hanya dituntut untuk unggul dalam pelajaran, tetapi juga harus mampu mengelola ekspektasi orang tua, persaingan di sekolah, serta perbandingan sosial yang muncul dari media digital. Kondisi ini membuat banyak peserta didik berada dalam situasi psikologis yang rentan dan membutuhkan dukungan emosional yang memadai.

Berbagai penelitian dan data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 15–20 persen pelajar mengalami gejala gangguan emosional atau stres belajar yang berdampak pada motivasi, minat belajar, hingga kemampuan bersosialisasi. Jika tidak ditangani sejak dini, gangguan ini dapat berkembang menjadi permasalahan psikologis yang lebih serius saat mereka memasuki masa remaja maupun dewasa. Hal ini mempertegas perlunya deteksi dini dan upaya pencegahan agar lingkungan belajar dapat menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi perkembangan mental siswa.

Namun, banyak sekolah masih berfokus pada pencapaian akademik dan belum memiliki sistem pendampingan psikososial yang memadai. Guru pun sering kali belum terlatih mengenali tanda awal stres, kecemasan, atau depresi yang dialami siswa, sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi hingga muncul perilaku ekstrem. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan emosional pelajar dan dukungan yang tersedia, sehingga diperlukan strategi terencana, kolaboratif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan kesehatan mental siswa dan membentuk generasi yang kuat secara emosional maupun sosial.

Sekolah memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan mental peserta didik melalui penciptaan iklim belajar yang positif, aman, dan inklusif. Budaya saling menghargai, bebas kekerasan, serta bebas perundungan perlu ditanamkan oleh seluruh warga sekolah agar siswa merasa diterima dan dihargai. Ketika suasana emosional di sekolah mendukung, siswa menjadi lebih fokus, kreatif, dan berani mengekspresikan diri tanpa rasa takut. Lingkungan yang sehat secara psikologis ini memungkinkan sekolah menyeimbangkan pencapaian akademik dengan kesejahteraan mental peserta didik.

Peran sekolah juga tampak dari penyediaan layanan konseling dan pendampingan psikologis yang sistematis. Keberadaan guru BK atau psikolog sekolah membantu mendeteksi dini perubahan perilaku dan gejala stres pada siswa. Program seperti konseling berbasis sekolah, kelompok dukungan sebaya, dan kegiatan refleksi diri memberikan ruang bagi siswa untuk memahami emosi dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Dengan pendekatan yang empatik, sekolah dapat membangun sistem dukungan yang mencegah masalah psikologis berkembang menjadi gangguan yang lebih serius.

Guru menjadi aktor kunci dalam menguatkan kesehatan mental siswa, karena perannya tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga pembimbing dan pendengar. Pelatihan literasi kesehatan mental dan keterampilan sosial-emosional penting diberikan kepada guru agar mereka lebih peka terhadap kondisi siswa. Selain itu, kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat melalui program seperti kelas parenting atau seminar psikologi memperkuat dukungan emosional peserta didik. Dengan sinergi ini, sekolah dapat berfungsi sebagai ekosistem yang membentuk generasi yang berkarakter, empatik, dan tahan terhadap berbagai tekanan perkembangan zaman.

Untuk menumbuhkan jiwa sehat dan kesejahteraan emosional sejak dini, sekolah perlu menerapkan strategi yang terencana dan berkesinambungan. Sekolah harus menjadi ruang aman yang menghargai keberagaman dan memberikan dukungan emosional bagi seluruh peserta didik. Penciptaan budaya positif dan empatik dapat menjadi langkah awal, di mana seluruh warga sekolah dibiasakan berinteraksi dengan saling menghormati serta menolak segala bentuk kekerasan atau diskriminasi. Ketika siswa merasa diterima dan aman secara emosional, mereka akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, lebih tangguh, dan mampu menghadapi tantangan belajar maupun kehidupan sosial.

Strategi selanjutnya adalah mengintegrasikan pendidikan sosial dan emosional dalam kegiatan belajar. Melalui pendekatan Social Emotional Learning (SEL), siswa dilatih untuk memahami diri, mengelola emosi, membangun hubungan positif, dan membuat keputusan yang bijak. Pembelajaran berbasis SEL tidak hanya memperkaya aspek akademik, tetapi juga melatih kepekaan sosial dan kemampuan refleksi yang penting bagi perkembangan mental mereka. Selain itu, program seperti Pojok Refleksi & Emosi, sesi mindfulness, kegiatan seni, atau sharing circle dapat membantu siswa mengekspresikan perasaan dan mengelola tekanan dengan cara yang sehat. Upaya ini dapat diperkuat melalui pelatihan teman sebaya yang berperan sebagai peer counselor untuk memberikan dukungan awal bagi siswa lain.

Kesejahteraan emosional siswa juga sangat bergantung pada kapasitas guru dan kolaborasi dengan keluarga serta masyarakat. Guru perlu dibekali literasi kesehatan mental agar mampu membaca perubahan perilaku siswa dan meresponsnya secara empatik. Kepala sekolah juga berperan dalam menyusun kebijakan yang ramah pada kesehatan mental, seperti penjadwalan yang seimbang dan sistem evaluasi yang tidak menekan. Di sisi lain, orang tua dan komunitas dapat berkontribusi melalui program parenting, layanan konseling, atau kegiatan sosial yang menumbuhkan rasa peduli. Dengan sinergi seluruh pihak, sekolah dapat berkembang menjadi ekosistem yang mendukung siswa tumbuh secara intelektual sekaligus kuat secara emosional dan spiritual.

Sudah waktunya kita memandang pendidikan secara lebih komprehensif, dengan melihat anak sebagai individu yang sedang berkembang, bukan hanya sebagai pengumpul nilai akademik. Perlu direnungkan bersama apakah rumah dan sekolah telah menjadi ruang aman bagi anak untuk bercerita, merasa dipahami, dan dihargai. Refleksi ini penting agar setiap kebijakan dan tindakan benar-benar berpihak pada kesejahteraan emosional mereka.

Sebagai orang tua, pendidik, dan bagian dari masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menumbuhkan budaya peduli terhadap kesehatan mental anak. Dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang diberikan akan membantu mereka berkembang menjadi pribadi yang tangguh dan percaya diri menghadapi perubahan zaman. Mari bersama membangun lingkungan pendidikan yang tidak hanya mengembangkan kecerdasan, tetapi juga menyehatkan jiwa.