Padang, hantaran.Co–Meski Sumatera Barat (Sumbar) selama ini dikenal sebagai penghasil gambir terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, namun tata kelola niaganya hingga kini masih jauh dari ideal. Petani di hulu belum merasakan nilai tambah yang adil, sementara pasar hilir masih dikuasai pembeli besar dan pelaku industri luar daerah.
Puncak kekecewaan petani pun sempat meledak dalam aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Limapuluh Kota beberapa waktu lalu. Mereka menuntut harga yang berpihak dan kebijakan yang lebih tegas dari pemerintah daerah.
Namun di sisi lain, pemerintah provinsi menilai persoalan ini tak semata soal harga jual, tapi juga perubahan struktur biaya produksi akibat modernisasi teknologi pengolahan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Sumbar, Afniwarman mengakui bahwa tata niaga gambir masih menghadapi banyak kendala, mulai dari regulasi, stabilitas harga, hingga rantai distribusi yang panjang dan timpang.
“Permasalahan utamanya bukan hanya harga yang fluktuatif, tapi juga tata kelola niaga yang belum tertata. Kita sudah punya Pergub tentang Tata Kelola Gambir, tapi di lapangan implementasinya belum maksimal,” ujarnya kepada Haluan, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, produksi gambir kini sebenarnya sudah jauh lebih efisien. Dengan sistem pres modern, petani tak lagi bergantung pada cara lama dengan mangampo di kampo yang boros tenaga dan waktu.
“Sekarang sudah menggunakan sistem pres, tidak lagi cara lama. Biaya produksi jauh lebih murah, hasil lebih banyak, dan efisiensinya tinggi. Jadi sebenarnya margin petani lebih baik dibanding dulu,” tutur Afniwarman.
Namun, efisiensi itu diakuinya belum diikuti dengan perbaikan sistem pasar. Para petani tetap bergantung pada tengkulak atau pembeli besar. Sementara harga internasional produk turunan gambir, seperti katekin dan tannin, justru malah dikendalikan oleh perusahaan pengolahan di luar Sumbar.
Sebagai langkah korektif, pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menyiapkan kajian hilirisasi gambir di Sumbar. Program ini mencakup survei calon petani dan calon lokasi (CPCL) serta rencana penunjukan BUMN sebagai pelaksana pembangunan pabrik pengolahan gambir di dua titik utama di Kabupaten Limapuluh Kota dan Pesisir Selatan.
“Kementan sudah menyiapkan tahapan mulai dari survei CPCL, penunjukan BUMN pengelola, sampai kajian hilirisasi. Ini menjadi momentum penting bagi Sumbar agar tidak lagi hanya jadi pemasok bahan mentah,” ujarnya.
Ia menegaskan, pembangunan industri pengolahan gambir akan menjadi solusi strategis untuk memutus rantai panjang perdagangan dan meningkatkan nilai tambah di daerah. “Kalau pabrik hilirisasi berdiri di Sumbar, petani tak lagi menjual bahan mentah. Nilai tambahnya bisa kita nikmati di sini. Tapi pelaksanaannya tergantung pusat dan pembiayaannya,” ujarnya.
Selama bertahun-tahun, tata niaga gambir Sumbar dikenal tidak transparan. Petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat, karena harga di tingkat lapangan ditentukan oleh fluktuasi pasar global, terutama permintaan dari India dan Tiongkok yang menjadi pembeli utama katekin mentah.
Produk tannin dan katekin mentah dari Sumbar bersaing ketat dengan produk turunan yang sudah lebih maju, seperti bahan baku kosmetik, farmasi, dan sampo yang diproduksi di luar negeri.
Afniwarman menilai, tanpa perubahan sistemik dari hulu hingga hilir, Sumbar akan terus menjadi “penonton” dalam industri yang bahan bakunya justru berasal dari nagari-nagari di Ranah Minang.
“Kita tak boleh terus menjual SDA dalam bentuk mentah. Pabrik pengolahan ini harus menjadi awal perubahan tata kelola, dari sistem jual beli bahan mentah menuju industri bernilai tinggi,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman menyampaikan, Sumbar memiliki potensi besar karena mampu memenuhi hingga 90 persen kebutuhan gambir dunia dengan tujuan ekspor utama ke India, Pakistan, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
“Potensi Sumbar luar biasa besar. Ekspor bahan baku sudah berjalan masif, khususnya untuk gambir. Oleh karena itu, kita harus masuk ke hilirisasi,” ujar Mentan Amran saat berkunjung ke Kota padang, beberapa waktu yang lalu.
Ia menegaskan, kebijakan hilirisasi gambir sejalan dengan Arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan transformasi pertanian tradisional menjadi modern untuk memperkuat kemandirian pangan nasional.
“Arahan Presiden jelas, empat tahun harus swasembada, bahkan bisa dicapai dalam tiga tahun. Insya Allah, jika tidak ada hambatan, tiga bulan ke depan kita bisa swasembada. Caranya dengan modernisasi pertanian yang intinya bermuara pada hilirisasi,” katanya.
Menurut Mentan, hilirisasi gambir akan memberikan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian Sumbar. Tanaman dengan nama latin Uncaria gambir Roxb ini memiliki berbagai manfaat, mulai dari bahan baku kosmetik, tinta, produk makanan, hingga perlengkapan militer. “Kalau kita masuk ke produksi hilir, nilainya tambah luar biasa besar. Bahkan bisa melebihi APBD Sumbar,” ucapnya.
Ia menambahkan, produk turunan gambir seperti skincare dan tinta memiliki potensi pasar global yang menjanjikan. Untuk mewujudkan hal itu, Kementan berencana menggandeng pemerintah daerah (pemda) dan mencari mitra teknologi internasional.
“Sumbar punya potensi terbesar. Kami mohon dukungan bupati dan gubernur. Bahkan kami akan berangkat ke Tiongkok untuk mencari pabrik terbaik dunia agar bisa kami dirikan di Sumbar,” ujar Amran.
Lebih jauh lagi, ia menilai hilirisasi gambir tidak hanya memperkuat ekspor, namun juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
“Sawit sudah ada hilirisasinya, berjalan baik, bahkan ekspornya juga meningkat. Sementara gambir belum menyentuh hilirisasi. Jika kita dorong, dampaknya langsung ke kesejahteraan petani di Sumbar,” ucapnya.







