Nasional

RUU PSdK Tuntas, Perlindungan Korban Semakin Kuat

5
×

RUU PSdK Tuntas, Perlindungan Korban Semakin Kuat

Sebarkan artikel ini
Korban

Jakarta, hantaran.Co–Komisi XIII DPR RI menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (PSdK). Perubahan ini bukan sekadar revisi teknis, melainkan perombakan besar yang mencakup lebih dari separuh isi undang-undang sebelumnya. Tujuan utamanya adalah memperkuat kehadiran negara dalam memberikan perlindungan nyata bagi para korban kejahatan.

Dikatakan Anggota Komisi XIII DPR RI, Arisal Aziz, permasalahan utama yang melatarbelakangi perubahan undang-undang ini adalah lemahnya perlindungan bagi korban dalam sistem peradilan pidana. Selama ini, perhatian hukum di Indonesia cenderung berat sebelah, lebih fokus menghukum pelaku kejahatan ketimbang memulihkan hak. 

“Saya menilai bahwa paradigma semacam ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan yang seharusnya melindungi semua pihak, termasuk saksi, informan, dan ahli yang sering turut berisiko dalam proses hukum,” katanya kepada media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Menurut Arisal, perubahan UU PSdK kali ini mengedepankan pendekatan restorative justice, yakni menitikberatkan pada pemulihan hak-hak serta keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini diharapkan dapat mengubah cara pandang publik dan aparat hukum terhadap korban kejahatan.

“Selama ini fokus kita hanya menghukum pelaku seberat-beratnya, tapi kita lupa terhadap hak-hak korban dan saksi yang juga mendapat ancaman,” ujarnya.

Salah satu permasalahan struktural yang diidentifikasi Komisi XIII adalah terbatasnya jangkauan LPSK yang selama ini hanya beroperasi di tingkat pusat. Padahal, banyak kasus kekerasan dan pelanggaran hukum terjadi di daerah, dengan korban yang tidak mendapat akses perlindungan memadai. Karena itu, revisi ini memperkuat peran LPSK agar dapat memiliki perwakilan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Selain memperluas jangkauan kelembagaan, Komisi XIII juga mengakomodasi peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan korban melalui konsep sahabat saksi dan korban. Skema ini membuka ruang bagi keterlibatan publik secara sukarela, sekaligus menjadi wujud dari semangat voluntarism yang kini diakui secara hukum. Arisal menilai langkah ini penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa perlindungan korban bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab sosial.

Isu krusial lainnya yang diangkat dalam revisi undang-undang ini adalah pembentukan dana abadi korban atau victim trust fund. Dana ini akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta partisipasi publik. Melalui dana ini, negara diharapkan dapat menjamin keberlanjutan layanan bantuan dan pemulihan bagi korban kekerasan, termasuk dukungan psikologis, medis, maupun hukum.

Arisal juga menegaskan bahwa seluruh substansi perubahan ini telah melalui serangkaian konsultasi lintas pihak, termasuk dengan lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Menurutnya, rancangan ini lahir dari kesadaran bersama bahwa keadilan sejati tidak hanya ditentukan oleh vonis terhadap pelaku, tetapi juga oleh sejauh mana korban merasa haknya diakui dan dipulihkan.

Sebagai langkah akhir, hasil kerja Panitia Kerja (Panja) Komisi XIII DPR RI terkait perubahan UU PSdK akan segera diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk proses harmonisasi. Arisal berharap, pembahasan di tingkat Baleg dapat berjalan lancar agar RUU ini segera dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai inisiatif DPR. “Kalau bisa cepat, insya Allah di masa sidang ini bisa disahkan,” pungkasnya.