Padang, hantaran.Co–Usai sudah KABA Festival 2025. Dua hari pelaksanaannya pada Sabtu (1/11/2025) dan Minggu (2/11/2025) kemarin, menyudahi tarian-tarian tubuh yang disirami cahaya panggung. Kabar-kabar yang tersangkut sudah termuntahkan di panggung Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang.
Empat penampil utama dan iringan dari kegiatan lain benar-benar memberi jejak dan kesan bagi semuanya – penampil, penonton, peserta kegiatan, penyelenggara, dan orang-orang lain. Festival yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation selama 10 tahun ini meninggalkan memori-memori tersendiri.
Daffa, salah satu anggota dari Dangau Studio yang mengaku juga sebagai penikmat seni pertunjukan itu merasa berkesan. Ia yang cukup sering menontong pertunjukan di Nan Jombang ini selalu memiliki cerita-cerita yang menarik.
“KABA Festival ini menarik karena pada perayaan hari ini saya melihat dan merasakan sekali pertunjukan ini seolah berbicara tentang segala hal yang hanya mampu ditarikan ke dalam tubuh-tubuh yang sepi,” ujarnya kepada Haluan, beberapa hari lalu.
Ia juga menjelaskan, pertunjukan-pertunjukan yang dihadirkan pada gelaran kali ini semakin meningkatkan sensitivitasnya tentang bagaimana pertunjukan ini lahir dari para seniman-seniman yang peduli dengan sosial dan lingkungannya.
“Saya melihat seniman selalu tidak memiliki teman layaknya aktivis untuk bersuara. Temannya itu adalah karya pertunjukan. Inilah yang menarik, kita selaku penonton dan penikmat menginterpretasikannya bagaimana, dan panggung pun benar-benar menjadi keluarnya gagasan,” katanya.
Begitu halnya menurut Satria. Ia juga senang menonton seni pertunjukan. Pada KABA Festival 2025 ini, ia tetap merasa tergugah dengan pertunjukan yang disajikan di panggung. Satria merasa diperkaya dengan pengetahuan gerak yang seakan mampu dibacanya dengan penilikannya.
“Saya suka mengira-ngira setiap melihat gerak-gerak dari pertunjukan yang ada. Pertunjukan yang menurut saya begitu emosional, seakan gerak tubuh itu bisa dibaca dan terlihat jujur. Ini yang saya senangi,” ujarnya.
Waroeng Oemoek
Pertunjukan ini dalam gagasannya berangkat dari sebuah warung kopi sederhana, di mana tawa kerap menjadi cara paling jujur rakyat kecil melawan kerasnya hidup. Percakapan sering terdengar di warung kopi—tempat tukang ngarit, pengemudi becak, pengecer togel, kuli bangunan, dan warga lain saling berbagi cerita hidup, menertawakan nasib, dan menyeruput kopi hitam sebagai jeda dari realitas yang tak selalu ramah.
Spirit Penthul & Tembem dalam kesenian Reyog Ponorogo, menjadikan pijakan Dedy yang ingin menghidupkan kembali semangat keluguan, kejujuran, dan keberanian dalam menertawakan keadaan. Tubuh-tubuh di panggung hadir apa adanya—tidak heroik, namun kuat dalam kesederhanaannya.
Melalui gerak, jeda, dan tawa yang sesekali berubah menjadi diam panjang, Dedy menghadirkan refleksi tentang bagaimana rakyat bertahan di tengah dunia yang carut-marut. Menurutnya, tertawa bisa menjadi cara paling sederhana sekaligus paling tajam untuk tetap waras dan menyuarakan perlawanan.
Frau Troffea
Tubuhnya menolak berhenti. Itulah benih karya dari Muslimin Bagus Pranowo “Frau Troffea”. Bermula dari kisah nyata wabah “tari paksa” yang melanda Eropa pada abad ke-16, Imin menghadirkan tubuh yang bergerak di antara batas kesadaran dan kelelahan—sebuah tubuh yang bukan sedang menari untuk menunjukkan keindahan, melainkan berjuang untuk bertahan.
Karya ini mengajak untuk menatap cermin zaman: di tengah dunia yang bising dan menuntut produktivitas tanpa jeda, manusia modern pun seakan terus “menari” tanpa pilihan, tak sempat berhenti, bahkan kerap tak tahu lagi apa yang sedang diperjuangkannya.
Gerak dalam “Frau Troffea” bukan ritual estetika, tapi pergulatan eksistensial. Setiap napas, setiap hentakan, menjadi perlawanan terhadap batas fisik dan psikis. Hingga akhirnya tubuh jatuh diam—namun bahkan dalam diam, ia masih berbicara tentang letih, tentang hidup, dan tentang ketidakmungkinan untuk benar-benar berhenti.
Di panggung, Imin menghadirkan ruang bagi penonton untuk merasakan keheningan yang sama kerasnya dengan gerak; menyadarkan bahwa dalam kehidupan hari ini, mungkin kita semua adalah Frau Troffea, terus menari agar tidak hilang ditelan waktu.
The Next
Di ruang latihan sederhana, tanpa sorotan lampu atau tepuk tangan, dua tubuh berlatih menemukan ritme bersama. Rio Mefri dan Hawa Mefri tidak berbicara dengan kata-kata, melainkan dengan jeda, napas, dan gerak. Dari ruang sunyi itulah lahir karya tari “The Next”.
Karya ini bukan sekadar penampilan, melainkan percakapan lintas generasi—sebuah dialog tubuh antara ayah dan anak. Setiap langkah menjadi ingatan, setiap diam menjadi cara cinta bertahan. “The Next” menghadirkan keheningan yang mengajarkan kedalaman, dan gerak yang merawat tradisi.
Dalam 42 tahun perjalanan Nan Jombang Dance Company, karya ini menandai keberlanjutan bukan sebagai simbol kejayaan, tetapi sebagai warisan nilai dan keberanian. Warisan di keluarga ini tidak berupa gelar atau panggung, melainkan cara tubuh menghadapi hidup. Di sela tawa kecil, keringat, dan napas yang terengah, tersimpan doa yang tidak pernah diucapkan lantang.
Pagi Bening
Kadang, yang paling menyakitkan bagi seorang seniman bukan kegagalan, melainkan penantian yang tak kunjung berakhir. Itulah napas utama yang menghidupi pertunjukan “Pagi Bening” garapan KSST Noktah.
Naskah ini disadur dan diberi tafsir baru oleh Syuhendri, melahirkan kisah yang merekam realitas seniman hari ini: tentang panggung yang hilang, ruang kesenian yang tak kunjung selesai dibangun, dan mimpi yang terus ditunda—seperti nasib Gedung Kebudayaan Sumatera Barat yang berdiri abu-abu di antara harapan dan ketidakpastian.
Bagi KSST Noktah, teater bukan sekadar tontonan; ia adalah cara bertahan. Di tengah minimnya ruang dan perhatian, mereka terus bekerja, berlatih, dan percaya bahwa tubuh dan kata masih layak diperjuangkan di negeri yang kerap abai pada keduanya.
“Pagi Bening” bukan nostalgia, melainkan pengingat: di balik tawa dan cahaya panggung, ada getir yang pelan tapi pasti ditulis oleh para seniman. Bahwa tidak semua kenangan manis, namun justru di situlah seni menemukan kejujurannya.







