Padang, HANTARAN.Co — Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah membawa sejumlah pembaruan mendasar dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia. Regulasi baru ini menekankan efisiensi, transparansi, serta pemerataan hak jemaah melalui serangkaian inovasi dan pengetatan aturan.
Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Dr. H. M. Rifki, M.Ag, menyebutkan salah satu perubahan penting adalah masa tunggu pendaftaran haji ulang yang kini diperpanjang dari 10 tahun menjadi 18 tahun. Kebijakan ini diberlakukan untuk memberi kesempatan lebih luas bagi calon jemaah yang belum pernah berhaji.
“Kalau dulu orang boleh daftar lagi setelah 10 tahun, sekarang 18 tahun. Artinya, yang pernah berhaji tahun 2015 baru bisa mendaftar lagi sekitar tahun 2033,” ujar Rifki dalam wawancara, Jumat (7/11/2025).
Perubahan lain juga terlihat pada ketentuan pelimpahan porsi haji. Jika sebelumnya hanya dapat diberikan kepada suami, istri, atau anak kandung, kini pelimpahan bisa dilakukan kepada saudara seayah atau seibu.
“Ini bentuk fleksibilitas dan keadilan bagi keluarga calon jemaah. Sebelumnya saudara kandung tidak bisa menerima pelimpahan, sekarang sudah diatur jelas dalam undang-undang,” jelasnya.
Selain itu, Rifki menyoroti perbaikan tata kelola DAM (denda pelanggaran manasik). Saat ini, pengelolaan DAM dapat dilakukan melalui lembaga resmi seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau bank syariah, sehingga lebih transparan dan akuntabel.
“Sebelumnya, DAM dilakukan mandiri lewat mukimin atau bank di Arab Saudi. Sekarang bisa dikelola di dalam negeri melalui lembaga resmi, bahkan melibatkan filantropi Islam seperti Baznas,” terangnya.
Menurutnya, bila sistem ini berjalan optimal, potensi ekonomi yang dihasilkan sangat besar. “Bayangkan saja, jika 221 ribu jemaah haji masing-masing menyembelih satu kambing, maka ada 221 ribu ekor kambing yang bisa dikelola dengan sistem yang lebih efisien,” ujarnya.
Undang-undang baru ini juga mempertegas mekanisme pengawasan kuota tambahan haji. Jika sebelumnya menjadi kewenangan penuh Menteri Agama, kini setiap tambahan kuota harus melalui pembahasan bersama Komisi VIII DPR RI.
“Ini wujud transparansi dan pengawasan publik. DPR akan terus dilibatkan dalam penentuan kuota tambahan agar tidak ada penyimpangan,” ungkap Rifki.
Lebih lanjut, Rifki menjelaskan, UU Nomor 14 Tahun 2025 memiliki dua visi besar: membangun ekosistem ekonomi haji serta memperkuat nilai-nilai peradaban dan keadaban umat.
“Haji kini tidak hanya dimaknai sebagai ibadah, tapi juga sebagai penggerak ekonomi nasional. Misalnya, bagaimana makanan jemaah di Arab Saudi bisa berasal dari produk Indonesia, atau asrama haji dimanfaatkan lebih optimal,” tuturnya.
Dengan berbagai perubahan tersebut, pemerintah berharap penyelenggaraan haji ke depan berjalan lebih tertib, transparan, dan berdampak luas bagi masyarakat.
Rifki menegaskan, “Undang-undang ini bukan hanya mengatur teknis ibadah, tetapi juga memberi arah baru bagaimana haji menjadi bagian dari peradaban dan ekonomi umat.”
Pembaruan regulasi ini diharapkan menjadi tonggak baru dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia lebih tertib dalam aturan, lebih adil dalam kesempatan, dan lebih berdaya dalam manfaatnya bagi umat. (*)






