Feature

Kala Keteguhan Pedagang Pasar Aur Kuning Diuji Sepinya Pembeli

0
×

Kala Keteguhan Pedagang Pasar Aur Kuning Diuji Sepinya Pembeli

Sebarkan artikel ini
Pasar Aur Kuning

Pasar Aur Kuning yang dulu terkenal hiruk-pikuk dengan transaksi ekonomi dan langkah kaki pengunjung yang ramai, kini tidak nampak lagi. Jika berjalan menyusuri lorong pasar, yang terdengar hanya gema langkah dan obrolan kecil antarpedagang. Banyak toko tutup lebih cepat, beberapa lainnya bahkan telah lama ditinggalkan.

Laporan: Yursil

 WARTAWAN BUKITTINGGI

Lorong-lorong yang dulu dikenal ramai dengan aktivitas tawar-menawar, tumpukan barang, dan langkah cepat para pembeli, kini tampak lengang. Hanya ada beberapa pedagang duduk di depan toko, sebagian sibuk memainkan telepon genggam, seolah menunggu waktu berlalu.

Salah satunya Zal (55), salah seorang pedagang pakaian yang telah lebih dari 35 tahun menghabiskan hidupnya di pasar yang dikenal sebagai Tanah Abang kedua itu. Ia duduk di kursi plastik kecil di tangannya, sebuah ponsel ia gulirkan pelan. Bukan sedang menunggu pesan penting, tetapi sekadar mengisi kesunyian.

“Biasanya, Rabu dan Sabtu harinya pakan di Bukittinggi. Pedagang dari luar kota berbelanja ke Pasar Aur Kuning. Tapi kini sepi pembeli, tidak sama lagi sebelum pandemi Covid-19,” ujar Zal ketika ditemui Haluan di Pasar Aur Kuning, Rabu (5/11/2025).

Ia bercerita, Pasar Aur Kuning pernah berjaya di masanya dan menjadi rujukan tak hanya bagi warga Bukittinggi, tetapi juga pembeli dari luar daerah, seperti Payakumbuh, Pasaman, Dharmasraya, hingga provinsi tetangga. Pasar Aur Kuning dikenal sebagai pusat sandang dengan pilihan barang lengkap dan harga bersaing. Lorong-lorong selalu padat, pedagang bahkan sering kewalahan melayani.

“Kalau dulu, buka toko sebentar saja sudah ada pembeli yang datang. Sore baru tutup pun masih sempat melayani. Sekarang, sehari dapat satu dua pembeli pun syukur,” ujar Zal, tersenyum getir.

Dulu pedagang menjual barang dagangan secara grosir. Kini, transaksi semacam itu sudah jarang terjadi. Sebagian besar pedagang melayani pembeli secara eceran.

Para pedagang menyebut penurunan aktivitas itu telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Perputaran uang turun drastis, sementara biaya operasional, sewa kios, listrik, dan kebutuhan rumah tangga tetap berjalan.

Salah satu penyebab yang banyak disebut adalah pergeseran pola belanja. Masyarakat kini lebih memilih membeli kebutuhan melalui marketplace dan toko daring yang menawarkan harga lebih murah, diskon beruntun, dan layanan antar cepat. “Orang tinggal pesan lewat HP, ada potongan, ongkir gratis, bahkan bisa dicicil pembayarannya. Kami di sini kalah bersaing,” ujarnya.

Akibat sepinya pembeli Pasar Aur Kuning, banyak pedagang yang gulung tikar dan tidak melanjutkan usaha lantaran tidak sanggup lagi membayar sewa toko dan gaji pegawai.

Jika dihitung-hitung, dulunya sewa toko dengan ukuran 3×4 m² sebesar Rp100 juta per tahun. Tapi kini sewa telah turun hingga 40 persen, namun pedagang masih tidak mampu membayarnya. “Sewaktu sewa Rp100 juta pedagang masih mampu menyewa. Tapi kini sewa hanya Rp60 juta per tahun masih banyak juga toko yang kosong,” ucapnya.

Pemandangan seperti Zal memainkan gawai sembari sesekali melongok ke lorong bukan lagi hal asing. Mereka tetap bertahan, bukan hanya karena kebutuhan ekonomi, melainkan juga karena pasar tersebut sudah menjadi bagian dari hidup. Tempat mereka membesarkan anak, membangun rumah, dan merajut masa depan.

Saat langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Zal refleks menoleh, matanya berbinar. Sesaat harapan sederhana yang terus ia ulang setiap hari hinggap di pikirannya: mungkin pembeli itu akan singgah.

Meskipun kondisi tampak berat, masih ada harapan yang terus dijaga. Sebagian pedagang berharap adanya pembenahan pasar, peningkatan promosi, hingga kegiatan yang dapat menghidupkan kembali daya tarik Aur Kuning sebagai pusat perdagangan di Kota Bukittinggi.

“Kami masih bertahan karena ini sudah pekerjaan kami sejak dulu. Pasar ini dulu ramai, kami yakin bisa ramai lagi. Tinggal bagaimana caranya kita sama-sama menghidupkannya kembali,” kata Zal, menutup percakapan sambil kembali menatap lorong pasar yang lengang.

Pasar Aur Kuning mungkin tengah berada dalam masa sunyi, namun denyut harap para pedagang masih tetap ada menunggu momentum untuk kembali berdenyut seperti dulu.

Sementara itu, Riko (35), seorang pedagang celana, mengaku omzet penjualannya jauh berkurang jika dibanding beberapa tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah penjualan daring yang harganya lebih murah dibandingkan dengan harga di toko.

“Penjualan saat ini lesu sejak dua tahun terakhir. Pembeli yang datang ke Pasar Aur Kuning jauh berkurang. Saat ini kami hanya melayani pelanggan yang telah ada. Pelanggan ini pun tidak membeli secara banyak,” kata Riko.

Para pembeli beralih berbelanja ke Tanah Abang dan Bandung sebagai pusat produksi sandang nasional. Otomatis harga yang ditawarkan di sana jauh lebih murah. Oleh karenanya, ia berharap pemerintah dapat mencarikan jalan keluar agar pedagang di Pasar Aur Kuning mampu keluar dari permasalahan ini, sehingga dapat meningkatkan ekonomi para pedagang.

Terpisah, Plt Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperperin) Kota Bukittinggi, Herriman mengakui sejak beberapa tahun belakangan transaksi jual beli di Pasar Aur Kuning memang lesu.

Menurutnya, kondisi perdagangan baik di pusat pusat perbelanjaan maupun di pasar tradisional secara nasional memang lesu akibat gejala global. “Yang bisa kami lakukan adalah bagaimana pedagang di Pasar Aur Kuning tetap tertib, nyaman, dan bersih agar pembeli banyak datang ke Aur Kuning,” ujar Herriman.