Ekonomi

Investasi di Sumbar Terkendala Infrastruktur

0
×

Investasi di Sumbar Terkendala Infrastruktur

Sebarkan artikel ini
Investasi

Padang, hantaran.Co–Meski realisasi investasi di Sumatera Barat (Sumbar) pada triwulan III tahun 2025 mencapai Rp8,64 triliun, capaian positif itu belum mampu mencerminkan efisiensi ekonomi daerah. Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Sumbar yang masih tinggi menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepadan dengan besarnya modal yang digelontorkan. Infrastruktur menjadi salah satu penyebab hal tersebut.

Pakar Ekonomi Universitas Andalas (Unand), Sri Maryati menilai tingginya ICOR Sumbar disebabkan aliran investasi yang lebih banyak terserap pada sektor-sektor yang kurang produktif, seperti infrastruktur dan proyek non-industri. Padahal, arah pembangunan daerah seharusnya mulai berorientasi pada industrialisasi dan sektor bernilai tambah tinggi.

“Ketika investasi lebih banyak masuk ke sektor yang tidak produktif, maka ICOR akan tinggi, karena modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang dihasilkan. Idealnya, investasi diarahkan ke sektor industri dan pengolahan agar menciptakan nilai tambah ekonomi, bukan hanya pembangunan fisik yang belum berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.” katanya kepada Haluan, Rabu (5/11).

Sumbar, ujar Sri, memang dikenal sebagai daerah pertanian, namun penguatan investasi di sektor ini harus lebih berorientasi pada tanaman hortikultura bernilai ekonomi tinggi dan pertanian perkebunan, bukan hanya sekadar komoditas mentah dengan harga fluktuatif.

Menurutnya, salah satu akar permasalahan investasi di Sumbar terletak pada keterbatasan infrastruktur yang menyebabkan mobilitas ekonomi antarwilayah tidak efisien. Akibatnya, hasil produksi sering dijual ke provinsi lain, sehingga keuntungan justru tercatat di luar Sumbar.

“Sebagai contoh, ketika kita berinvestasi di sektor pertanian, tetapi infrastruktur jalan dan pasar tidak mendukung, pelaku usaha akan menjual hasilnya ke provinsi sebelah. Keuntungannya pun tercatat di sana. Jadi, investasi tanpa infrastruktur yang mumpuni ibarat menanam di lahan subur tapi tanpa jalan keluar,” kata Sri.

Sri menyebutkan bahwa efisiensi investasi harus beriringan dengan kesiapan industri dan pasar lokal agar investasi benar-benar berdampak pada perekonomian daerah.

“Jika kita berinvestasi seribu, tentu berharap hasilnya lima ribu. Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya untung, malah buntung. Inilah mengapa ICOR Sumbar kini jauh dari angka ideal di kisaran tiga hingga empat persen,” tuturnya.

Selain efisiensi, kualitas investasi di Sumbar juga dinilai masih rendah. Banyak proyek pembangunan yang tidak termanfaatkan secara optimal. Hal ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan evaluasi investasi.

“Pembangunan gedung yang tak terpakai itu bentuk kemubaziran. Sudah biaya tinggi, tapi terbengkalai. Investasi seharusnya mendorong produktivitas bukan hanya bagi investor, tapi juga bagi masyarakat sekitar. Jika multiplier effect tercipta, maka ekonomi daerah akan tumbuh bersama.” tuturnya.

Sri juga menyebutkan faktor ketidakpastian hukum dan regulasi, termasuk persoalan tanah ulayat serta belum jelasnya Perda Kemudahan Berusaha di Sumbar, membuat investor ragu dan enggan berinvestasi secara efisien.

“Perlu ada komunikasi dan musyawarah yang jelas dengan ninik mamak dalam penggunaan tanah ulayat, serta regulasi yang mengikat. Prinsip tigo tungku sajarangan harus dijalankan agar investasi berjalan dalam koridor adat dan hukum,” ucap Sri.

Ia menilai, kepastian hukum, infrastruktur yang baik, dan arah investasi yang tepat sasaran merupakan tiga pilar penting untuk memperbaiki kualitas investasi Sumbar. Tanpa itu, setiap tambahan modal hanya akan menambah angka, bukan nilai ekonomi.

“Infrastruktur yang baik akan menurunkan biaya, mempercepat waktu, dan meminimalisir kerusakan. Ketika biaya rendah, pendapatan meningkat. Inilah yang perlu dimonitor bersama agar investasi di Sumbar tidak lagi berhenti di angka, tapi berbuah kesejahteraan,” tuturnya.