Politik

Perjanjian FIR Dinilai Janggal, Guspardi Gaus Minta Pendapat Pakar Didengar

8
×

Perjanjian FIR Dinilai Janggal, Guspardi Gaus Minta Pendapat Pakar Didengar

Sebarkan artikel ini
Legislator
Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus. IST

JAKARTA, hantaran.co — Perjanjian Flight Information Region (FIR) antara pemerintah Indonesia dan Singapura diduga janggal oleh Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto Juwana, sejumlah pakar hukum lainnya dan beberapa praktisi penerbangan dan pertahanan. Perjanjian FIR ini dinilai melanggar Pasal 458 UU 1/2009 tentang penerbangan.

Merespons pendapat para pakar hukum internasional dan juga masukan dari sejumlah praktisi penerbangan dan pertahanan, anggota DPR RI fraksi PAN, Guspardi Gaus, menyarankan pemerintah untuk dapat memperhatikan dengan seksama apa yang menjadi masukan para ahli dan praktisi tersebut, tentang isi pasal perjanjian wilayah udara Indonesia dan Singapura yang baru saja di tandatangani kedua negara.

“Pendapat yang dikemukakan oleh para pakar hukum itu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan DPR sebagai pengawas pemerintahan, untuk kemudian dilakukan kajian yang lebih konprehensif. Begitu juga masukan saran dan pendapat dari praktisi penerbangan dan pertahanan ” ujar Guspardi, Senin (7/2/2022).

Legislator asal Sumatera Barat itu menambahkan, bahwa persoalan ini merupakan isu yang sensitif karena terkait dengan permasalahan pengelolaan FIR antara Indonesia dengan Singapura di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Pasal 458 UU No 1 tahun 2009 tentang penerbangan secara tegas menyatakan bahwa wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjajian, sudah harus di evalusi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan paling lambat 15 tahun sejak undang-undang ini berlaku.

Namun dalam perjanjian antara Indonesia dengan Singapura pengelolaan FIR di atas wilayah tersebut masih didelegasikan kepada Singapura untuk jangka waktu 25 tahun ke depan. Sementara merujuk kepada UU No 1 tahun 2009 pelayanan navigasi yang didelegasikan kepada negara lain sudah akan berakhir tahun 2024 mendatang.

“Apakah yang disampaikan pakar hukum betul melanggar undang-undang atau gimana? Tentu perlu dicermati dan digali lebih mendalam. Tentu hal ini bukanlah pesoalan sederhana dan harus digali dan dikaji secara mendalam serta komprehensif. Apalagi menurut praktisi penerbangan dan pertahanan, perjanjian ini dipaketkan dengan perjanjian pertahanan negara,” ujar Politisi PAN ini.

Lebih lanjut Anggota Komisi II DPR ini berharap agar pemerintah mengundang para pakar hukum, praktisi penerbangan dan pertahanan, guna mendapatkan keterangan dan penjelasan yang lebih komprehensif lagi tentang pengelolaan wilayah udara. Di lain sisi pemerintah diharapkan juga dapat membuka secara detil isi perjanjian dengan Singapura itu, guna menghindari hal tersebut berkembang menjadi isu liar dan menimbulkan perdebatan publik.

“Sementara itu, kita juga mendorong tim bidang hukum istana untuk melakukan pembahasan internal terhadap isi perjanjian FIR yang dikorelasikan dengan temuan ilmiah yang disampaikan oleh Prof.Hikmahanto tersebut. Bagaimanapun kita harus objektif, taat azas, taat hukum. Kalau memang ini (FIR) dikhawatirkan melanggar Pasal 458 UU 1/2009 tentang batas wilayah, tentu harus segera dilakukan evaluasi,” ucap anggota Baleg DPR RI tersebut. (*)

Leni/hantaran.co