LIMA PULUH KOTA,- Hantaran.co–Satu keluarga yang terdiri 6 orang kakak beradik terpaksa tinggal di dalam gubuk yang beratap terpal dan berdinding kayu di belantara hutan kawasan Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Di gubuk berukuran 2 kali 4 meter tersebut, mereka tinggal. Keenam kakak beradik yang sudah lanjut usia itu sudah tinggal sejak Desember 2020 lalu.
Keenam kakak beradik yang berusia diatas 50 tahun itu, terdiri dari Heni, Inong, Sawir, Epi, Wazirman, dan Feri Ilahi nekat tinggal di dalam rimba bukan karena tidak memiliki rumah, melainkan untuk mempertahankan lahan mereka agar tidak digarap oleh perusahaan tambang setempat.
“Keenam kakak beradik itu adalah etek (tante) dan mamak (paman) saya. Mereka semua sudah berkeluarga dan pindah tinggal dari rumah ke dalam hutan untuk mempertahankan lahan ulayat kami agar tidak dirusak,”ucap Ipka perwakilan keluarga dari keenam kakak beradik tersebut pada Minggu (31/1).
Dijelaskan Ipka, keenam kakak beradik tersebut merupakan pemilik lahan ulayat atas keturunan Datuak Paduko Siramo Koto Alam. Di sekitar lahan tersebut, tengah berlangsung aktifitas tambang batu split oleh perusahaan tambang.
Karena tidak ada kejelasan dari perusahaan tambang itu untuk ganti rugi terhadap penggarapan tanah ulayat, sehingga pemilik lahan berupaya untuk mempertahankan lahan mereka agar tidak diolah oleh perusahaan tambang tersebut.
“Ganti rugi tidak jelas dari perusahaan, tetapi sebagian lahan sudah ada yang diolah. Karena itu, supaya tidak terlanjur banyak lahan yang diolah oleh perusahaan sehingga keluarga pemilik lahan memilih untuk bertahan dengan mendirikan gubuk diatas lahan mereka,”kata Ipka.
Diakuinya lagi, sudah ada sekitar 2 hektar dari 5 hektar luas lahan yang terlanjur diolah oleh perusahan. Padahal, lahan seluas 2 hektar tersebut, tidak ada ganti rugi yang diterima oleh pemilik lahan. Termasuk dari ganti rugi tumbuhan,ganti rugi batu yang diambil perusahaan tambang serta ganti rugi terhadap kerugian lainnya.
Salah seorang pemilik lahan, Inong (60) mengatakan, sudah hampir 2 bulan tinggal bersama kakak dan adiknya didalam hutan. Siang, malam, mereka tetap bertahan di dalam hutan. Tanpa listrik dan hidup seadanya, mereka jalani demi mempertahankan lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Dari makan, memasak, tidur, hingga mencuci dilakukan keenam keluarga tersebut di gubuk yang terbilang tidak layak tersebut. Untuk operasional sehari-hari, anggota keluarga mereka saling bergantian masuk rimba mengantarkan untuk orang tua mereka.
Untuk sampai ke gubuk kayu itu, mereka tidak melewati pos penjagaan milik perusahaan tambang. Melainkan memilih jalan alternatif dengan melintasi jalan setapak, menaiki bukit dengan menempuh sekitar satu jam perjalanan dari perkampungan penduduk.
“Dari lahan inilah kami hidup, kami bercocok tanam. Ada gambir, pagi, karet, durian dan coklat. Semuanya sudah ditebang oleh perusahaan tambang. Tanah kami juga sudah diolah tetapi ganti ruginya tidak ada. Kami sudah mengadu ke berbagai pihak tetapi tidak ada yang merespon,”ucap Inong.
Diceritakannya lagi, jauh-jauh hari saat perusahaan baru beroperasi di Manggilang, sudah ada kesepakatan antara pemilik lahan dengan perusahaan tambang. Terutama terhadap ganti rugi bagi pemilik lahan.
“Waktu itu ada kesepakatan, ganti rugi 1 hektar Rp 70juta. Kemudian, kompensasi dari batu, perusahaan wajib memberikan Rp 7ribu/ton untuk pemilik lahan. Kini, kesepakatan ini yang tidak ada realisasi. Malahan kami selalu dijanjikan oleh perusahaan akan dibayar tetapi tidak ada sampai sekarang tetapi lahan kami terus mereka olah,”ucap Inong.
Karena sudah geram, akhirnya Inong dan keluarga lainnya sepakat tinggal didalam hutan di lokasi tambang. Tak hanya mendirikan gubuk saja, mereka juga memasang plang dan membatasi akses jalan agar alat berat tidak masuk ke lokasi tambang.
Sedangkan, perusahaan tambang tersebut belum bisa dikonfirmasi terkait penyelesaian ganti rugi atas lahan masyarakat di Koto Alam.
(Dadang/Hantaran.co)






