PADANG, HANTARAN.Co–Menyikapi kebijakan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD), kepala daerah, termasuk Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), beramai ramai minta pemerintah pusat untuk mengambil alih pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini perlu dikaji secara hati-hati.
Ekonom Universitas Andalas (Unand), Prof.
Syafruddin Karimi menegaskan bahwa gagasan itu memang lahir dari ruang fiskal daerah yang semakin sempit, namun tanpa desain kebijakan baru, langkah tersebut justru berisiko bagi stabilitas fiskal nasional.
“Secara jangka pendek, ide ini bisa meringankan beban APBD. Tapi kalau tidak diimbangi dengan arsitektur penganggaran yang baru, akan menciptakan moral hazard rekrutmen dan menambah beban struktural bagi APBN,” ujarnya kepada Haluan, Kamis (9/10/2025).
Prof. Syafruddin menjelaskan, usulan ini berangkat dari realitas pengetatan TKD yang memangkas ruang belanja publik.Namun, jika seluruh gaji ASN
dialihkan ke APBN, dampaknya akan luas terhadap disiplin defisit dan kredibilitas fiskal nasional.
“Skema gaji PPPK sebenarnya sudah ditopang pusat melalui DAU Tambahan. Kalau sekarang seluruhnya diambil alih, berarti memperluas skema itu menjadi pembayaran langsung. Tanpa perubahan regulasi dan mekanisme pengawasan, ini bisa mengubah karakter TKD menjadi beban tetap yang sulit dikendalikan,” katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti implikasi terhadap postur RAPBN 2026. Pemerintah dan DPR baru saja menyepakati peningkatan TKD menjadi Rp692,9 triliun dari usulan awal Rp649,9 triliun.
“Ruang fiskal pusat sendiri sedang mencari keseimbangan. Kalau sekarang juga harus menanggung payroll ASN daerah, belanja
prioritas lain seperti perlindungan sosial dan infrastruktur bisa tertekan,” tuturnya.
Namun dari sisi daerah,Prof. Syafruddin mengakui tekanan fiskal memang nyata. Ia Mencontohkan kota Padang yang mengalami penurunan TKD sekitar Rp459 miliar pada rancangan APBD 2026.
“Dalam kondisi seperti itu, wajar bila muncul
gagasan agar pusat ikut menanggung. Tapi solusi jangka panjangnya bukan sekadar memindahkan beban, melainkan memperkuat mekanisme yang sudah ada,” katanya.
Ia mengusulkan beberapa langkah konkret
agar kebijakan tersebut tetap menjaga
keseimbangan nasional dan daerah. Di antaranya, memperkuat skema DAU Tambahan dengan buffer cadangan nasional, menerapkan pengawasan formasi ASN yang lebih ketat, serta mengaitkan penyaluran dana dengan kinerja dan kebutuhan riil di daerah.
“Kalau pusat ingin membantu, bantu lewat
mekanisme yang terukur dan berbasis data.
Penyaluran gaji PPPK sebaiknya terus bergeser ke sistem pengajuan kebutuhan bulanan yang tervalidasi, bukan reimburse. Dengan begitu, disiplin fiskal daerah tetap terjaga,” katanya.
Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah
menyiapkan fase transisi dua tahun sebelum
kebijakan sentralisasi gaji diberlakukan penuh.
“Lakukan pilot project dulu untuk guru dan tenaga kesehatan di provinsi yang paling tertekan. Evaluasi dampaknya terhadap APBN, APBD, dan layanan publik,” ucapnya.
Menurutnya, kunci utama dari seluruh proses
ini adalah transparansi. Pusat dan daerah harus menayangkan data yang sama terkait TKD,
kebutuhan gaji ASN, serta capaian layanan. Tanpa transparansi, kebijakan apa pun akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di pasar.
Prof. Syafruddin menegaskan, esensi usulan
pusat membayar gaji ASN lahir dari kebutuhan menjaga mesin layanan publik di daerah tetap
hidup. Namun, ia mengingatkan, stabilitas nasional hanya bisa dijaga jika kebijakan itu dikawal dengan pagar fiskal yang kuat dan mekanisme transisi yang cermat.
“Yang kita butuhkan bukan sekadar pusat membayar gaji, tapi desain fiskal baru yang memastikan layanan publik tetap berjalan tanpa menyalahi prinsip disiplin makro,”ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Sum
bar, Mahyeldi Ansharullah mengusulkan agar
pemerintah pusat mengambil alih pembayaran
gaji ASN di daerah.
“Kalau dana TKD ini terus berkurang, tentu akan berdampak besar bagi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu,kami mengusulkan agar pusat bisa mengambil
alih pembayaran gaji ASN,” ujar Mahyeldi.