Sumbar

Ancaman Resentralisasi di Balik Kebijakan Pusat

0
×

Ancaman Resentralisasi di Balik Kebijakan Pusat

Sebarkan artikel ini
Resentralisasi

Padang,hantaran.Co–Sejumlah kebijakan pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari hak pengelolaan pertambangan dan hutan hingga pemangkasan TKD, telah memunculkan sentimen resentralisasi. Fenomena ini dinilai berpotensi melemahkan otonomi daerah.

Pakar Otonomi Daerah, Prof. Djohermansyah Djohan menyebut, fenomena resentralisasi yang kini tampak dalam kebijakan pemerintah harus dilihat secara utuh. “Apakah ini benar-benar sesuatu yang baru di era Presiden Prabowo, ataukah telah berlangsung sejak masa Presiden Joko Widodo, atau bahkan sebelumnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?” katanya, Minggu (2/11/2025).

Reformasi 1998 sesungguhnya telah memberi mandat yang jelas: otonomi daerah yang nyata di era Presiden Soeharto harus diubah menjadi otonomi seluas-luasnya. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam amandemen konstitusi. Setelah pengalaman 25 tahun Orde Baru yang sangat sentralistik, di mana seluruh keputusan ditarik ke pusat, membuat pelayanan publik lambat dan daerah kehilangan daya gerak.

Untuk menjawab tuntutan itu, dilakukanlah perubahan UUD 1945, khususnya pasal 18, 18A, dan 18B, yang menegaskan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.

Presiden B.J. Habibie menjadi inisiator dengan lahirnya Undang-Undang Pemda Nomor 22 Tahun 1999, yang memberi kewenangan amat luas kepada daerah. Sehingga, kekuasaan pusat jadi terbatas sekali, yaitu tinggal urusan Hankam, politik luar negeri, moneter dan fiskal, judicial, dan agama.

“Namun model ini kemudian dikoreksi pada era Presiden Megawati Soekarnoputri melalui UU Pemda No. 32 Tahun 2004, agar keseimbangan antara pusat dan daerah tidak jomplang,” kata Guru Besar IPDN itu.

Pada masa Presiden SBY, koreksi terhadap pelaksanaan otonomi daerah kembali dilakukan lewat UU Pemda No. 23 Tahun 2014. Diumbarnya desentralisasi di era sebelumnya telah menimbulkan fenomena “raja-raja kecil” di daerah, kepala daerah yang seolah tidak mengindahkan kebijakan nasional. UU baru itu mencoba mengembalikan keseimbangan: mana kewenangan yang harus dipegang pusat, mana yang diserahkan ke provinsi atau kabupaten/kota.

Secara konseptual, pembagian itu cukup adil. Misalnya, pendidikan tinggi diatur pusat karena memerlukan biaya, teknologi, dan kualitas SDM tinggi; pendidikan menengah diurus provinsi; dan pendidikan dasar diserahkan ke kabupaten/kota. Semangatnya jelas: kolaborasi, bukan dominasi.

Namun belakangan, arah kebijakan kembali menunjukkan gejala penarikan kewenangan ke pusat. Banyak urusan publik seperti perizinan membangun rumah, pertambangan (minerba), pengelolaan sumber daya alam, hingga penunjukan penjabat kepala daerah kini dikendalikan langsung oleh pusat. Bahkan proses politik lokal, seperti pengangkatan Pj Gubernur atau Bupati, tidak lagi memperhatikan usulan daerah, melainkan suka-sukanya istana.