Sumbar

Ratusan Hektare Hutan di Pessel Dibabat

0
×

Ratusan Hektare Hutan di Pessel Dibabat

Sebarkan artikel ini
Hutan

Padang,hantaran.Co–Aktivitas pembalakan liar kembali mencoreng wajah pengelolaan hutan di Sumatera Barat (Sumbar). Ratusan hektare kawasan hutan di Nagari Lunang Tengah, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) dilaporkan telah habis ditebang secara ilegal sejak awal tahun 2025.

Ironisnya, meski laporan resmi telah disampaikan ke aparat penegak hukum, hingga kini belum ada tindakan nyata di lapangan.Terlebih, dugaan aktivitas pembalakan liar di Kabupaten Pessel bukan kali ini saja mencuat.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar menyampaikan, berdasarkan hasil investigasi lapangan dan analisis citra satelit, setidaknya 200 hektare hutan di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) telah dibuka tanpa izin, dengan sepuluh titik pembalakan aktif yang teridentifikasi jelas dari citra udara.

Lebih memprihatinkan lagi, jarak titik pembalakan terluar dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) hanya sekitar 1,3 kilometer. Hal ini menjadikan area tersebut zona rawan degradasi ekologis di wilayah penyangga taman nasional.

“Kami menemukan indikasi kuat bahwa pembukaan hutan ini bukan aktivitas sporadis masyarakat, tetapi operasi terencana dan sistematis. Penebangan dilakukan dengan alat berat dan pola grid, mirip dengan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit,” ujar Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar, Tommy Adam kepada Haluan, Kamis (30/10/2025).

Menurut Tommy, tindakan ini bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan kejahatan kehutanan terorganisir.

Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan tegas mengancam pelaku penebangan liar dengan hukuman 1 hingga 15 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar tergantung pada tingkat keterlibatan dan organisasinya.

“Kalau penegak hukum serius, pelaku seharusnya sudah ditangkap. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, penebangan masih berjalan, sementara penyelidikan berhenti di meja laporan,” tuturnya.

Informasi serupa disampaikan oleh Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Lunang Tengah yang menjadi pelapor resmi kasus ini ke Polres Pesisir Selatan pada 15 Oktober 2025.  Namun, hingga akhir bulan, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) belum juga diterima pihak pelapor.

“Kami sudah menyampaikan laporan lengkap beserta titik koordinat lokasi penebangan dan dokumentasi lapangan. Tapi sampai sekarang belum ada tindakan. Bahkan aktivitas tebang kayu masih berlangsung setiap hari,” kata Zainal, perwakilan LPHN Lunang Tengah.

Ia menyebutkan, wilayah yang kini rusak merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Indrapura, yang menjadi sumber utama air bersih bagi ribuan warga di kawasan hilir. Jika penebangan terus berlanjut, kata Zainal, bukan tidak mungkin masyarakat akan menghadapi ancaman banjir bandang dan longsor di musim hujan.

“Kalau hulu rusak, air di bawah akan keruh dan berkurang. Kami sudah berulang kali mengingatkan, tapi yang datang ke lapangan hanya survei sesaat, tidak ada penindakan,” ucapnya dengan nada kecewa.

Walhi Sumbar menduga kuat bahwa pembalakan liar di Lunang Tengah dilakukan dengan motif ekonomi berskala besar berupa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Tommy menyebut, pola pergerakan alat berat dan kecepatan perubahan tutupan lahan menunjukkan adanya keterlibatan aktor bermodal besar dan berjejaring kuat.

“Ini bukan kerja orang kampung. Ada rantai pasokan, ada modal, ada alat berat. Tapi aparat cenderung diam. Ini menandakan bahwa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ucapnya.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan di tingkat pemerintah daerah. Menurutnya, tidak adanya tindakan cepat dari Dinas Kehutanan, Polres, maupun Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera menjadi sinyal bahwa penegakan hukum lingkungan di Sumatera Barat masih rapuh dan inkonsisten.

Walhi maupun LPHN mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera menghentikan aktivitas ilegal di Lunang Tengah dan menindak pelaku pembalakan, termasuk aktor intelektual di baliknya.

Mereka juga meminta tim investigasi terpadu dari Polda Sumbar, KLHK, dan Pemkab Pessel untuk turun langsung ke lokasi dan menginap di lapangan agar mendapatkan gambaran sebenarnya. “Selama aparat hanya melihat dari laporan meja, penebangan akan terus terjadi. Harus ada kehadiran negara di hutan. Jangan tunggu banjir baru ribut,” tutur Zainal.

Tommy menambahkan, kerusakan hutan di Lunang Tengah bukan hanya persoalan lokal, tetapi ancaman bagi keberlanjutan ekologis Sumatera bagian barat.

Dengan posisi kawasan yang berbatasan langsung dengan TNKS, degradasi di daerah ini berpotensi memicu fragmentasi habitat satwa liar dan mempercepat laju kehilangan karbon hutan tropis.

“Kalau hutan kita terus hilang, yang kita hadapi bukan hanya kekeringan dan banjir, tapi krisis ekologis yang memukul ekonomi rakyat. Negara harus hadir melindungi hutan, bukan menonton pembalak bekerja,” ujarnya.